Keutamaan Surat Al-Kahfi
by WELCOME TO BLOGGER on Nov.22, 2009, under
Daripada Muaz Ibnu Anas Al-Juhari, daripada bapanya, daripada Nabi SAW baginda bersabda:
“Sesiapa membaca dari Surah Al-Kahfi, maka jadilah baginya cahaya daripada kepala hingga kakinya dan sesiapa yang membaca keseluruhannya, maka jadilah baginya cahaya antara langit dan bumi.” (HR Ahmad)
Daripada Umar beliau berkata, Nabi SAW telah bersabda:
“Sesiapa membaca Surah Al-Kahfi pada hari Jumaat, maka bersinarlah cahaya daripada bawah kakinya hingga ke langit, untuknya di hari kiamat dan diampunkannya antara dua Jumaat.” (HR Ibnu Katsir)Rasulullah saw bersabda:“Maukah aku tunjukkan padamu suatu surat yang diikuti oleh seribu malaikat ketika diturunkan, dan keagungannya memenuhi antara langit dan bumi?” Sahabat menjawab: Mau. Rasulullah saw bersabda: “Surat Ashhabul Kahfi. Barangsiapa yang membacanya pada hari Jum’at, Allah akan mengampuni dosanya sampai Jum’at berikutnya dan ditambah tiga hari, diberi cahaya yang mencapai ke langit, dan akan terjaga dari fitnah Dajjal.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 3: 243)
Rasulullah saw bersabda:“Barangsiapa yang menjaga sepuluh ayat dari surat Al-Kahfi, ia akan memiliki cahaya pada hari kiamat.” Hadis ini bersumber dari Abu Darda’ dari Nabi saw. (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 3: 243)
Keutamaan Surat Al-Mulk
by WELCOME TO BLOGGER on Nov.22, 2009, under
ـ(1) عن أبي هريرة، عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال: سورة من القرأن، ثلاثون اية؛ تَشْفَعُ لصاحبها حتى يُغْفَرَ له: تبارك الذي بيده الملك. (رواه أبو داود واللفظ له, والترمذي وغيرهما، وصححه ابن حبان والحاكم والذهبي، وحسنه الترمذي والألباني)ـ
Dari Abu Huroiroh, Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Ada surat dari Alqur’an yang terdiri dari 30 ayat, Surat tersebut dapat memberikan syafa’at bagi ‘temannya’ (yakni orang yang banyak membacanya) sehingga orang tersebut diampuni dosanya, yaitu: Surat Tabarokalladi bi yadihil mulk“. (HR. Abu Dawud dg redaksinya, diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi dan yang lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Ibnu Hibban, al-Hakim, dan adz-Dzahabi, sedangkan at-Tirmidzy dan Albani menghasankannya)
ـ(2) عن أنس بن مالك قال، قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: سورة من القرآن، ما هي إلا ثلاثون آية، خاصمت عن صاحبها حتى أدخلته الجنة، و هي تبارك. (رواه الطبراني في المعجم الأوسط وحسنه الألباني في صحيح الجامع)ـ
Anas bin Malik mengatakan, Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam bersabda: “Ada surat dari Alqur’an, ia hanya terdiri dari 30 ayat, Surat tersebut dapat membela ‘temannya’ sehingga memasukkannya ke surga, yaitu: Surat Tabarok“. (HR. Thobaroni dalam Mu’jamul Ausath, dan dihasankan oleh Albani dalam Shohihul Jami’)
ـ(3) عن عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال: من قرأ تبارك الذي بيده الملك كل ليلة، منعه الله عز وجل بها من عذاب القبر، وكنا في عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم نسميها “المانعة”، وإنها في كتاب الله عز وجل سورة، من قرأ بها في ليلة فقد أكثر وأطاب. (رواه النسائي واللفظ له والحاكم وقال صحيح الإسناد وحسنه الألباني)ـ
Abdulloh bin Mas’ud mengatakan: “Barangsiapa membaca surat Tabarokalladi bi yadihil mulk setiap malam, maka Alloh azza wajall menghindarkannya dari adzab kubur, dan dahulu kami (para sahabat) di saat Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- (masih hidup) menamainya “al-Mani’ah” (penghindar/penghalang). Sungguh surat tersebut ada dalam Kitabulloh, barangsiapa membacanya dalam suatu malam, maka ia telah banyak berbuat kebaikan” (HR. Nasa’i dengan redaksinya, diriwayatkan pula oleh al-Hakim dan ia mengatakan: sanadnya shohih, dan dihasankan oleh Albani)
ـ(4) عَنْ جَابِرٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يَنَامُ حَتَّى يَقْرَأَ الم تَنْزِيلُ وَتَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ. (رواه أحمد والترمذي وغيرهما وصححه الألباني)ـ
Dari Jabir, sesungguhnya Nabi -shollallohu alaihi wasalam- tidak pernah tidur (malam) sehingga ia membaca surat Alif lam mim tanzil (biasa disebut Surat as-Sajdah) dan surat Tabarokalladi bi yadihil mulk (biasa disebut surat al-Mulk). (HR. Ahmad, at-Tirmidzi dan yang lainnya, dihasankan oleh Albani)
ـ(5) عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أُعْطِيتُ مَكَانَ التَّوْرَاةِ السَّبْعَ، وَأُعْطِيتُ مَكَانَ الزَّبُورِ الْمَئِينَ، وَأُعْطِيتُ مَكَانَ الْإِنْجِيلِ الْمَثَانِيَ، وَفُضِّلْتُ بِالْمُفَصَّلِ. (رواه أحمد وحسنه الألباني والأرناؤوط)ـ
Dari Waatsilah ibnul Asqo’, sesungguhnya Nabi -shollallohu alaihi wasallam- bersabda: “Aku telah dikaruniai Assab’u yang sebanding dengan kitab Taurat, aku juga diberi Alma’in yang sebanding dengan kitab Zabur, aku juga diberi Almatsani yang sebanding dengan kitab Injil, dan aku dikaruniai kelebihan dengan Almufash-shol” (HR. Ahmad, dan dihasankan oleh Albani dan Al-Arnauth).
Kedua: Fadhilah Surat Almulk bisa diraih oleh mereka yang banyak membacanya, terutama di waktu malam menjelang tidur, sebagaimana diterangkan dalam hadits no: 3 dan 4. Jadi tidak tepat kalau dikatakan bahwa keutamaan tersebut hanya khusus bagi mereka yang menghafalnya saja.
Ketiga: Waktu untuk membaca Surat Almulk ini bisa kapan saja, akan tetapi Rosululloh -shollallohu alaihi wasallam- biasa membacanya saat menjelang tidur malam.
Keempat: Melihat keterangan hadits-hadits di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa memperbanyak membaca Surat Almulk dapat menghindarkan seseorang dari siksa kubur dan siksa neraka.
Kelima: Perlu kami ingatkan di sini, bahwa banyak sekali hadits-hadits tentang keutamaan surat Alqur’an yang dhoif (lemah) bahkan maudhu’ (palsu). Oleh karena itu, hendaklah kita berhati-hati dalam menerima keterangan tentang keutamaan surat Alqur’an, agar kita tidak terjatuh dalam amalan bid’ah dan kepercayaan yang tak berdasar. Hendaklah kita tidak mengamalkan hadits, kecuali telah jelas keshohihannya…
Tafsir Surat Al-Waqiah
by WELCOME TO BLOGGER on Nov.22, 2009, under
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah dan hari Kemudian”
Bukan saja pengandengan itu disebutkan dalam al-Qur’an saja tetapi di dalam hadits-hadits Rasulullah Saw juga menyatakan demikian, dengan kalimat:
من كان يؤمن بالله واليوم الاخر……..
Karenanya, keyakinan kepada akhirat ini sangat ditekankan. Dengan kata lain peningkatan ibadah itu tergantung pada keimanan kita terhadap hari akhirat. Allah Swt menyebutkan di dalam surat al-Munafiqun bahwa ketika manusia sedang dalam keadaan sakaaratul maut, seorang itu semakin ingin melakukan kebaikan dan beramal sholeh. Sebagaimana Allah firmankan:
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku Termasuk orang-orang yang saleh?. Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.”
Dengan demikian, kita sering menjumpai bila ada peristiwa kematian, kecendrungan manusia yang masih hidup untuk beramal sholeh menjadi meningkat. Ia sadar bahwa jenazah itu perlu dibekali dengan amal shaleh. Kita saksikan ada yang dingajikan sampai berbulan-bulan, berminggu-minggu, bahkan ada sampai yang bertahun-tahun untuk orang yang meninggal tadi. Karenanya dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa kematian seseorang diantara kita ini sangat penting untuk memantapkan keyakinan dan keimanan kita terhadap akhirat.
Diceritakan di zaman Rasulullah saw, ada kebiasaan umum di kalangan para sahabat ketika mereka sedang berkumpul di masjid atau dimanapun, mereka mendiskusikan hal yang paling penting dalam kehidupan mereka, yaitu mereka mendiskusikan tentang akhirat. Suatu kali Rasulullah Saw masuk ke dalam masjid dan bersamaan dengan kedatangan Nabi didapati para sahabat sedang berdiskusi. Kemudian Rasulullah Saw bergabung dan bertanya kepada mereka: ”Kalian sedang berdiskusi tentang apa?” Mereka menjawab: ”Kami sedang berdiskusi tentang hari kiamat”.
Seorang shahabat yang bernama al-Harits mengungkapkan, ketika Ia ditanya oleh Rasulullah Saw: ”Apa kabarmu hari ini wahai Haris?” Ia menjawab: Iman saya hari ini mantap sekali ya Rasulullah, seakan-akan saya melihat penghuni syurga itu saling menziarahi, dan penghuni neraka itu sedang menjerit-jerit dan meminta pertolongan”. Dengan riwayat ini kita menyaksikan bahwa para shahabat Rasulullah Saw sangat peduli dan memperhatikan kehidupan ba’da dunia yaitu kehidupan akhirat.
Penulis dan ulama muslim DR. Nu’aim Yassin menulis buku yang berjudul tentang keimanan, hakikatnya, rukun-rukunnya, dan hal-hal yang membatalkan keimanan. Dalam bukunya ia menulis bahwa ia memperhatikan al-Qur-anul Karim yang standar yang terdiri dari 604 halaman, kita sering menyebutnya dengan ’al-Qur-an Madinah’, dikatakan oleh beliau bahwasannya tidak ada satu halamanpun dalam halaman Al Qur-an yang tidak membicarakan tentang akhirat, bahkan ada dalam satu halaman yang sepenuhnya membicarakan tentang akhirat.
Tafsir Surat Al-Waqiah
by WELCOME TO BLOGGER on Nov.22, 2009, under
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah dan hari Kemudian”
Bukan saja pengandengan itu disebutkan dalam al-Qur’an saja tetapi di dalam hadits-hadits Rasulullah Saw juga menyatakan demikian, dengan kalimat:
من كان يؤمن بالله واليوم الاخر……..
Karenanya, keyakinan kepada akhirat ini sangat ditekankan. Dengan kata lain peningkatan ibadah itu tergantung pada keimanan kita terhadap hari akhirat. Allah Swt menyebutkan di dalam surat al-Munafiqun bahwa ketika manusia sedang dalam keadaan sakaaratul maut, seorang itu semakin ingin melakukan kebaikan dan beramal sholeh. Sebagaimana Allah firmankan:
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku Termasuk orang-orang yang saleh?. Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.”
Dengan demikian, kita sering menjumpai bila ada peristiwa kematian, kecendrungan manusia yang masih hidup untuk beramal sholeh menjadi meningkat. Ia sadar bahwa jenazah itu perlu dibekali dengan amal shaleh. Kita saksikan ada yang dingajikan sampai berbulan-bulan, berminggu-minggu, bahkan ada sampai yang bertahun-tahun untuk orang yang meninggal tadi. Karenanya dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa kematian seseorang diantara kita ini sangat penting untuk memantapkan keyakinan dan keimanan kita terhadap akhirat.
Diceritakan di zaman Rasulullah saw, ada kebiasaan umum di kalangan para sahabat ketika mereka sedang berkumpul di masjid atau dimanapun, mereka mendiskusikan hal yang paling penting dalam kehidupan mereka, yaitu mereka mendiskusikan tentang akhirat. Suatu kali Rasulullah Saw masuk ke dalam masjid dan bersamaan dengan kedatangan Nabi didapati para sahabat sedang berdiskusi. Kemudian Rasulullah Saw bergabung dan bertanya kepada mereka: ”Kalian sedang berdiskusi tentang apa?” Mereka menjawab: ”Kami sedang berdiskusi tentang hari kiamat”.
Seorang shahabat yang bernama al-Harits mengungkapkan, ketika Ia ditanya oleh Rasulullah Saw: ”Apa kabarmu hari ini wahai Haris?” Ia menjawab: Iman saya hari ini mantap sekali ya Rasulullah, seakan-akan saya melihat penghuni syurga itu saling menziarahi, dan penghuni neraka itu sedang menjerit-jerit dan meminta pertolongan”. Dengan riwayat ini kita menyaksikan bahwa para shahabat Rasulullah Saw sangat peduli dan memperhatikan kehidupan ba’da dunia yaitu kehidupan akhirat.
Penulis dan ulama muslim DR. Nu’aim Yassin menulis buku yang berjudul tentang keimanan, hakikatnya, rukun-rukunnya, dan hal-hal yang membatalkan keimanan. Dalam bukunya ia menulis bahwa ia memperhatikan al-Qur-anul Karim yang standar yang terdiri dari 604 halaman, kita sering menyebutnya dengan ’al-Qur-an Madinah’, dikatakan oleh beliau bahwasannya tidak ada satu halamanpun dalam halaman Al Qur-an yang tidak membicarakan tentang akhirat, bahkan ada dalam satu halaman yang sepenuhnya membicarakan tentang akhirat.
Keutamaan Surat Al-Waqiah
by WELCOME TO BLOGGER on Nov.22, 2009, under
Abdullah bin Mas’ud berkata bahwa Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang membaca surat Al-Waqi’ah, ia tidak akan tertimpa oleh kefakiran selamanya.” .” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 5/203).
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Barangsiapa yang membaca surat Al-Waqi’ah pada malam Jum’at, ia akan dicintai oleh Allah, dicintai oleh manusia, tidak melihat kesengsaraan, kefakiran, kebutuhan, dan penyakit dunia; surat ini adalah bagian dari sahabat Amirul Mukimin (sa) yang bagi beliau memiliki keistimewaan yang tidak tertandingi oleh yang lain.” (Tafsir Nur Ats-Tsaqalayn 5/203).
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Barangsiapa yang merindukan surga dan sifatnya, maka bacalah surat Al-Waqi’ah; dan barangsiapa yang ingin melihat sifat neraka, maka bacalah surat As-Sajadah.” (Tsawabul A’mal, hlm 117).
Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Barangsiapa yang membaca surat Al-Waqi’ah sebelum tidur, ia akan berjumpa dengan Allah dalam keadaan wajahnya seperti bulan purnama.” (Tsawabul A’mal, halaman 117).
Keutamaan Surat Ar-Rahman
by WELCOME TO BLOGGER on Nov.22, 2009, under
2. Imam Ja’far Ash-shadiq (sa) berkata: “Barangsiapa yang membaca surat Ar-Rahman, dan ketika membaca kalimat ‘Fabiayyi âlâi Rabbikumâ tukadzdzibân’, ia mengucapkan: Lâ bisyay-in min âlâika Rabbî akdzibu (tidak ada satu pun nikmat-Mu, duhai Tuhanku, yang aku dustakan), jika saat membacanya itu pada malam hari kemudian ia mati, maka matinya seperti matinya orang yang syahid; jika membacanya di siang hari kemudian mati, maka matinya seperti matinya orang yang syahid.” (Tsawabul A’mal, hlm 117).
3. Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Jangan tinggalkan membaca surat Ar-Rahman, bangunlah malam bersamanya, surat ini tidak menentramkan hati orang-orang munafik, kamu akan menjumpai Tuhannya bersamanya pada hari kiamat, wujudnya seperti wujud manusia yang paling indah, dan baunya paling harum. Pada hari kiamat tidak ada seorangpun yang berdiri di hadapan Allah yang lebih dekat dengan-Nya daripadanya. Pada saat itu Allah berfirman padanya: Siapakah orang yang sering bangun malam bersamamu saat di dunia dan tekun membacamu. Ia menjawab: Ya Rabbi, fulan bin fulan, lalu wajah mereka menjadi putih, dan ia berkata kepada mereka: Berilah syafaat orang-orang yang mencintai kalian, kemudian mereka memberi syafaat sampai yang terakhir dan tidak ada seorang pun yang tertinggal dari orang-orang yang berhak menerima syafaat mereka. Lalu ia berkata kepada mereka: Masuklah kalian ke surga, dan tinggallah di dalamnya sebagaimana yang kalian inginkan.” (Tsawabul A’mal, hlm 117).
Keutamaan Menuntut Ilmu
by WELCOME TO BLOGGER on Nov.22, 2009, under
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajad.” (Al Mujadilah: 11)
Pada surat Ali ‘Imran: 18 Allah SWT bahkan memulai dengan dirinya, lalu dengan malaikatnya, dan kemudian dengan orang-orang yang berilmu. Jelas kalau Allah menghargai orang-orang yang berilmu.
“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu)” (Ali Imran:18)
Allah juga menyatakan bahwa hanya dengan ilmu orang bisa memahami perumpamaan yang diberikan Allah untuk manusia.
“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tiada memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (Al ‘Ankabut:43)
Tuhan juga menegaskan hanya dengan ilmulah orang bisa mendapat petunjuk Al Qur’an.
“Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat2 yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu” (Al Ankabut:49)
Nabi Muhammad SAW juga sangat menghargai orang yang berilmu. “Ulama adalah pewaris para Nabi” Begitu sabdanya seperti yang dimuat di HR Abu Dawud.
Bahkan Nabi tidak tanggung2 lebih menghargai seorang ilmuwan daripada satu kabilah. “Sesungguhnya matinya satu kabilah itu lebih ringan daripada matinya seorang ‘alim.” (HR Thabrani)
Seorang ‘alim juga lebih tinggi dari pada seorang ahli ibadah yang sewaktu2 bisa tersesat karena kurangnya ilmu. “Keutamaan orang ‘alim atas orang ahli ibadah adalah seperti keutamaan diriku atas orang yang paling rendah dari sahabatku.” (HR At Tirmidzi).
Nabi Muhammad mewajibkan ummatnya untuk menuntut ilmu. “Menuntut ilmu wajib bagi muslimin dan muslimah” begitu sabdanya. “Tuntutlah ilmu dari sejak lahir hingga sampai ke liang lahat.”
Jelas Islam menghargai ilmu pengetahuan dan mewajibkan seluruh ummat Islam untuk mempelajarinya. Karena itu pendapat mayoritas ummat Islam (terutama di pedesaan) yang menganggap bahwa perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi2, soalnya nanti tinggalnya juga di dapur jelas bertentangan dengan ajaran Islam.
Selain itu Nabi juga menyuruh agar ummat Islam menuntut ilmu berkelanjutan hingga ajalnya. Karena itu seorang muslim haruslah berusaha belajar setinggi2nya. Jangan sampai kalah dengan orang kafir. Ummat Islam jangan cuma mencukupkan belajar sampai SMA saja, tapi berusahalah hingga Sarjana, Master, bahkan Doktor jika mampu. Jika ada yang tak mampu secara finansial, adalah kewajiban kita yang berkecukupan untuk membantunya jika dia ternyata adalah orang yang berbakat.
Sekarang ini, tingkat pengetahuan ummat Islam malah kalah dibandingkan dengan orang-orang kafir. Ternyata justru orang-orang kafir itulah yang mengamalkan ajaran Islam seperti kewajiban menuntut Ilmu setinggi2nya. Jarang kita menemukan ilmuwan di antara ummat Islam. Sebaliknya, tingkat buta huruf sangat tinggi di negara2 Islam.
Hal itu jelas menunjukkan bahwa kemunduran ummat Islam bukan karena ajaran Islam, tapi karena ulah ummat Islam sendiri yang tidak mengamalkan perintah agamanya. Ayat pertama dalam Islam adalah “Iqra!” Bacalah! Di situ Allah memperintahkan ummat Islam untuk membaca, tapi ternyata tingkat buta huruf justru paling tinggi di negara2 Islam. Ini karena kita tidak konsekwen dengan ajaran Islam.
Nabi juga mengatakan, bahwa ilmu yang bermanfaat akan mendapat pahala dari Allah SWT, dan pahalanya berlangsung terus-menerus selama masyarakat menerima manfaat dari ilmunya..
“Apabila anak Adam meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga, yaitu ilmu yang bermanfaat….”(HR Muslim)
Pada awal masa Islam, ummat Islam melaksanakan ajaran tsb dengan sungguh2. Mereka giat menuntut ilmu. Hadits2 seperti “Siapa yang meninggalkan kampung halamannya untuk mencari pengetahuan, ia berada di jalan Allah”, “Tinta seorang ulama adalah lebih suci daripada darah seorang syahid (martir)”, memberikan motivasi yang kuat untuk belajar.
Ummat Islam belajar dari orang Cina teknik membuat kertas. Pabrik kertas pertama didirikan di Baghdad tahun 800, dan perpustakaan pun tumbu dengan subur di seluruh negeri Arab (baca: Islam) yang dulu dikenal sebagai bangsa nomad yang buta huruf dan cuma bisa mengangon kambing.
Direktur observatorium Maragha, Nasiruddin At Tousi memiliki kumpulan buku sejumlah 400.000 buah. Di Kordoba (Spanyol) pada abad 10, Khalifah Al Hakim memiliki suatu perpustakaan yang berisi 400.000 buku, sedangkan 4 abad sesudahnya raja Perancis Charles yang bijaksana (artinya: pandai) hanya memiliki koleksi 900 buku. Bahkan Khalifah Al Aziz di Mesir memiliki perpustakaan dengan 1.600.000 buku, di antaranya 16.000 buah tentang matematika dan 18.000 tentang filsafat.
Pada masa awal Islam dibangun badan2 pendidikan dan penelitian yang terpadu. Observatorium pertama didirikan di Damaskus pada tahun 707 oleh Khalifah Amawi Abdul Malik. Universitas Eropa 2 atau 3 abad kemudian seperti Universitas Paris dan Univesitas Oxford semuanya didirikan menurut model Islam.
Para ilmuwan Islam seperti Al Khawarizmi memperkenalkan “Angka Arab” (Arabic Numeral) untuk menggantikan sistem bilangan Romawi yang kaku. Bayangkan bagaimana ilmu Matematika atau Akunting bisa berkembang tanpa adanya sistem “Angka Arab” yang diperkenalkan oleh ummat Islam ke Eropa. Kita mungkin bisa menuliskan angka 3 dengan mudah memakai angka Romawi, yaitu “III,” tapi coba tulis angka 879.094.234.453.340 ke dalam angka Romawi. Bingungkan? Jadi para ahli matematika dan akuntan haruslah berterimakasih pada orang-orang Islam, he he he..:) Selain itu berkat Islam pulalah maka para ilmuwan sekarang bisa menemukan komputer yang menggunakan binary digit (0 dan 1) sebagai basis perhitungannya, kalau dengan angka Romawi (yang tak mengenal angka 0), tak mungkin hal itu bisa terjadi.
Selain itu Al Khawarizmi juga memperkenalkan ilmu Algorithm (yang diambil dari namanya) dan juga Aljabar (Algebra).
Omar Khayam menciptakan teori tentang angka2 “irrational” serta menulis suatu buku sistematik tentang Mu’adalah (equation).
Di dalam ilmu Astronomi ummat Islam juga maju. Al Batani menghitung enklinasi ekleptik: 23.35 derajad (pengukuran sekarang 23,27 derajad).
Dunia juga mengenal Ibnu Sina (Avicenna) yang karyanya Al Qanun fit Thibbi diterjemahkan ke bahasa Latin oleh Gerard de Cremone (meninggal tahun 1187), yang sampai zaman Renaissance tetap jadi textbook di fakultas kedokteran Eropa.
Ar Razi (Razes) adalah seorang jenius multidisiplin. Dia bukan hanya dokter, tapi juga ahli fisika, filosof, ahli theologi, dan ahli syair. Eropa juga mengenal Ibnu Rusyid (Averroes) yang ahli dalam filsafat.
Dan masih banyak lagi kemajuan yang dicapai oleh ummat Islam di bidang ilmu pengetahuan. Ketika terjadi perang salib antara raja Richard the Lion Heart dan Sultan Saladdin, boleh dikata itu adalah pertempuran antara bangsa barbar dengan bangsa beradab. Raja Richard yang terkenal itu ternyata seorang buta huruf, (kalau rajanya buta huruf, bagaimana rakyat Eropa ketika itu) sedangkan Sultan Saladin bukan saja seorang yang literate, tapi juga seorang ahli di bidang kedokteran. Ketika raja Richard sakit parah dan tak seorangpun dokter ahli Eropa yang mampu mengobatinya, Sultan Saladin mempertaruhkan nyawanya dan menyelinap di antara pasukan raja Richard dan mengobatinya. Itulah bangsa Islam ketika itu, bukan saja pintar, tapi juga welas asih. Jika kita menonton film Robin Hood the Prince of Thieves yang dibintangi Kevin Kostner, tentu kita maklum bagaimana Robin Hood terkejut dengan kecanggihan teknologi bangsa Moor seperti teropong.
Tapi itu sekarang tinggal sejarah. Ummat Islam sekarang tidak lagi menghargai ilmu pengetahuan tak heran jika mereka jadi bangsa yang terbelakang. Hanya dengan menghidupkan ajaran Islam-lah kita bisa maju lagi.
Ummat Islam harus kembali giat menuntut ilmu. Menurut Al Ghazali, sesungguhnya menuntut ilmu itu ada yang fardu ‘ain (wajib bagi setiap Muslim) ada juga yang fardu kifayah (paling tidak ada segolongan ummat Islam yang mempelajarinya.
Ilmu agama tentang mana yang wajib dan mana yang halal seperti cara shalat yang benar itu adalah wajib bagi setiap muslim. Jangan sampai ada seorang ahli Matematika, tapi cara shalat ataupun mengaji dia tidak tahu. Jadi ilmu agama yang pokok agar setiap muslim bisa mengerjakan 5 rukun Islam dan menghayati 6 rukun Iman serta mengetahui kewajiban dan larangan Allah harus dipelajari oleh setiap muslim. Untuk apa kita jadi ahli komputer, kalau kita akhirnya masuk neraka karena tidak pernah mengetahui cara shalat?
Adapun ilmu yang memberikan manfaat bagi ummat Islam seperti kedokteran yang mampu menyelamatkan jiwa manusia, ataupun ilmu teknologi persenjataan seperti pembuatan tank dan pesawat tempur agar ummat Islam bisa mempertahankan diri dari serangan musuh adalah fardu kifayah. Paling tidak ada segolongan muslim yang menguasainya.
Semoga kita semua bisa mengamalkan ajaran Islam dan bisa menegakkan kalimah Allah.
Referensi:
1. Ihya ‘Ulumuddiin karangan Imam Al Ghazali
2. Janji-janji Islam karangan Roger Garaudy
KEUTAMAAN DZIKIR
by WELCOME TO BLOGGER on Nov.22, 2009, under
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” [QS Al Ahzab 33:41]
Tidak berzikir akan mengakibatkan seseorang jadi orang yang rugi.
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” [QS Al Munaafiquun 63:9]
Allah mengingat orang yang mengingatNya.
“Karena itu, ingatlah Aku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” [Al Baqarah:152]
Orang yang beriman selalu ingat kepada Allah dalam berbagai keadaan :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” [QS Ali 'Imran 3:190-191]
Dengan berzikir hati menjadi tenteram.
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” [QS 13:28]
Menyebut Allah dapat membawa ketenangan dan menyembuhkan jiwa :
« Menyebut-nyebut Allah adalah suatu penyembuhan dan menyebut-nyebut tentang manusia adalah penyakit (artinya penyakitakhlak). (HR. Al-Baihaqi)
Nabi berkata: Tiada amal perbuatan anak Adam yang lebih menyelamatkannya dari azab Allah daripada zikrullah. (HR. Ahmad)
« Demi yang jiwaku dalam genggamanNya, kalau kamu selamanya bersikap seperti saat kamu ada bersamaku dan mendengarkan zikir, pasti para malaikat akan bersalaman dengan kamu di tempat tidurmu dan di jalan-jalan yang kamu lalui. Tetapi, wahai Hanzhalah (nama seorang sahabat) kadangkala begini dan kadangkala begitu. (Beliau mengucapkan perkataan itu kepada Hanzhalah hingga diulang-ulang tiga kali). (HR. Tirmidzi dan Ahmad)
« Perumpamaan orang yang berzikir kepada Robbnya dan yang tidak, seumpama orang hidup dan orang mati » (HR. Bukhari dan Muslim)
Nabi berkata: ” Nyanyian dan permainan hiburan yang melalaikan menumbuhkan kemunafikan dalam hati, bagaikan air menumbuhkan rerumputan. Demi yang jiwaku dalam genggamanNya, sesungguhnya Al Qur’an dan zikir menumbuhkan keimanan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan rerumputan” (HR. Ad-Dailami)
Nabi berkata: ”Maukah aku beritahu amalanmu yang terbaik, yang paling tinggi dalam derajatmu, paling bersih di sisi Robbmu serta lebih baik dari menerima emas dan perak dan lebih baik bagimu daripada berperang dengan musuhmu yang kamu potong lehernya atau mereka memotong lehermu? Para sahabat lalu menjawab, “Ya.” Nabi Saw berkata,”Zikrullah.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Seorang sahabat berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya syariat-syariat Islam sudah banyak bagiku. Beritahu aku sesuatu yang dapat aku menjadikannya pegangan.” Nabi Saw berkata, “Biasakanlah lidahmu selalu bergerak menyebut-nyebut Allah (zikrullah).” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Nabi berkata: Sebaik-baik zikir dengan suara rendah dan sebaik-baik rezeki yang secukupnya. (HR. Abu Ya’la)
Di antara ucapan tasbih Rasulullah Saw ialah : “Maha suci yang memiliki kerajaan dan kekuasaan seluruh alam semesta, Maha suci yang memiliki kemuliaan dan kemahakuasaan, Maha suci yang hidup kekal dan tidak mati.” (HR. Ad-Dailami)
“Dua kalimat ringan diucapkan lidah, berat dalam timbangan dan disukai oleh Allah yaitu kalimat: “Subhanallah wabihamdihi, subhanallahil ‘Adzhim” (Maha suci Allah dan segala puji bagi-Nya, Maha suci Allah yang Maha Agung). (HR. Bukhari)
Nabi berkata: ”Ada empat perkara, barangsiapa memilikinya Allah akan membangun untuknya rumah di surga, dan dia dalam naungan cahaya Allah yang Maha Agung. Apabila pegangan teguhnya “Laailaha illallah”. Jika memperoleh kebaikan dia mengucapkan “Alhamdulillah”, jika berbuat salah (dosa) dia mengucapkan “Astaghfirullah” dan jika ditimpa musibah dia berkata “Inna lillahi wainna ilaihi roji’uun.” (HR. Ad-Dailami)
Nabi berkata: Wahai Aba Musa, maukah aku tunjukkan ucapan dari perbendaharaan surga? Aku menjawab, “Ya.” Nabi berkata, “La haula wala Quwwata illa billah.” (Tiada daya upaya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).” (HR. Ibnu Hibban dan Ahmad)
Di antara zikir yang utama adalah Laa ilaaha illallahu (Tidak ada Tuhan selain Allah)
“Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: ‘DZikir yang paling utama adalah Laa ilaaha illallahu” [HR Turmudzi]
‘Rasulullah bersabda : ‘Sesungguhnya aku berkata bahwa kalimat : ‘Subhanallah, wal hamdulillah, wa Laa Ilaaha Illallah, wallahu akbar’ (Maha Suci Allah, dan segala puji bagi Allah, dan tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan Allah Maha Besar) itu lebih kusukai daripada apa yang dibawa oleh matahari terbit.’ (HR Bukhari dan Muslim)
KEUTAMAAN MEMBACA AL-QURAN
by WELCOME TO BLOGGER on Nov.22, 2009, under
Ada dua cara seseorang di dalam membaca kitab Allah. Pertama, tilawah hukmiyyah, yaitu membenarkan segala berita yang ada di dalamnya dan menerapkan hukum-hukumnya dengan cara melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, tilawah lafhzhiyyah atau qira’atul Qur’an, banyak sekali nash-nash yang menyebut keutamaannya. Dalam Shahih Bukhari, disebutkan riwayat dari Utsman bin Affan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.”
Dalam Shahihain, disebutkan pula hadits dari Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Orang yang mahir membaca Al-Qur’an kelak (mendapat tempat disurga) bersama para utusan yang mulia lagi baik. Sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dan masih terbata-bata, dan merasa berat dan susah, maka dia mendapatkan dua pahala.”
Dua pahala ini, salah satunya merupakan balasan dari membaca Al-Qur’an itu sendiri, sedangkan yang kedua adalah atas kesusahan dan keberatan yang dirasakan oleh pembacanya.
Dalam Shahih Muslim disebutkan riwayat dari Abu Umamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bacalah Al-Qur’an, karena pada hari Kiamat nanti dia akan datang sebagai pemberi syafa’at kepada orang yang membacanya.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka ia mendapatkan satu kebaikan, sedangkan kebaikan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Saya tidak mengatakan alif laam miim itu satu huruf, akan tetapi alif satu huruf, laam satu huruf, dan miim satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi)
Keutamaan-keutamaan ini meliputi seluruh kandungan isi Al-Qur’an. Banyak hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan keutamaan surat-surat tertentu, misalnya surat Al-Fatihah. Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan dari Abu Sa’id bin Mu’alla bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepadanya, “Aku akan mengajarkanmu surat yang paling agung di dalam Al-Qur’an, yaitu Alhamdulillaahi Rabbi l-‘alamiin (Al-Fatihah). Ini adalah tujuh ayat yang diulang-ulang dan Al-Qur’an agung yang diberikan kepadaku.”
Oleh karena keutamaannya itu, maka membacanya menjadi bagian dari rukun shalat. Shalat tidak akan menjadi sah tanpa membaca Al-Fatihah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak sah shalat bagi siapa yang tidak membaca Al-Fatihah.” (Muttafaq ‘alaih)
Surat dalam Al-Qur’an lainnya yang memiliki keutamaan tersendiri adalah surat Al-Baqarah dan Ali Imran. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Bacalah surat Az-Zahrowain, yaitu Al-Baqarah dan Ali Imran. Karena sesungguhnya keduanya akan datang pada hari Kiamat seperti dua buah awan atau seperti dua kawanan burung yang sedang terbang berbaris membela orang-orang yang biasa membacanya. Bacalah surat Al-Baqarah karena membacanya membawa berkah sedangkan meninggalkannya akan menyebabkan penyesalan. Surat ini tidak akan bisa dibaca oleh para tukang sihir.” (HR. Muslim)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah, tidak akan bisa dimasuki setan.” (HR. Muslim)
Surat lainnya yang mempunyai keutamaan khusus adalah surat Al-Ikhlas. Dalam Shahih Bukhari disebutkan riwayat dari Abu Said Al-Khudri bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Demi Dzat yang menguasai jiwaku, sesungguhnya ia sebanding dengan sepertiga Al-Qur’an.”
Selain itu, surat yang memiliki keutamaan tersendiri adalah surat Al-Falaq dan An-Nas, atau biasa disebut mu’awwidzatain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tahukah kamu beberapa ayat yang diturunkan pada hari ini yang belum pernah sebanding dengannya? Yaitu Qul ‘a’udzibi Rabbi l-falaq, dan Qul ‘a’udzubi Rabbi n-nas.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, sudah sepatutnya bagi kita untuk bersungguh-sungguh memperbanyak bacaan Al-Qur’an yang penuh berkah, apalagi di bulan Ramadhan. Para Salafush Shalih dahulu selalu memperbanyak bacaan Al-Qur’an di bulan Ramadhan. Imam Malik, jika Ramadhan tiba, maka beliau berhenti dari membaca hadits dan majelis-majelis ilmu (berhenti mengajar) untuk kemudian berganti membaca Al-Qur’an. Imam Qatadah selalu meng-khatam-kan bacaan Al-Qur’an setiap tujuh hari sekali, sedangkan pada bulan Ramadhan meng-khatam-kannya setiap tiga hari sekali, dan pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan meng-khatam-kannya setiap hari.
Sumber:
Kajian Romadhon, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin: Al-Qowam
KEUTAMAAN SURAT YASIN
by WELCOME TO BLOGGER on Nov.22, 2009, under
Al ‘Alamah Abu ath Thayib Abadiy mengatakan bahwa hal itu adalah terhadap orang yang menjelang kematiannya. Barangkali dengan membacakannya maka hal itu akan memudahkannya saat menghadapi sakaratul maut karena didalam surat itu disebutkan nama Allah swt, keadaan hari kiama dan hari kebangkitan.
Imam ar Rozi mengatakan didalam “At Tafsirul Kabir” bahwa perintah membacakan surat yasin terhadap orang yang dekat dengan kematiannya ini juga berdasarkan sabdanya saw,”Segala sesuatu memiliki jantung dan jantung al Qur’an itu adalah yasin.”
Hal itu dikarenakan keadaan lidah pada saat itu sangatlah lemah berbeda dengan hati secara keseluruhannya mampu menghadap Allah. Oleh karena itu dibacakanlah kepadanya sesuatu yang dapat menambah kekuatan hatinya dan menyandarkan kejujurannya dengan yang pokok, yaitu amal dan fungsinya. (Aunul Ma’bud juz VIII hal 279)
Ibnu Katsir meyebutkan didalam tafsirnya bahwa sebagian ulama mengatakan,”Diantara kekhususan surat ini adalah tidaklah seseorang membaca surat ini dalam keadaan sulit kecuali Allah akan memberikan kemudahan kepadanya. Dan sepertihalnya ketika surat ini dibacakan terhadap orang yang menjelang kematiannya maka akan turun kepadanya rahmat dan keberkahan dan untuk memberikan kemudahan keluarnya ruh dari jasadnya.”
Imam Ahmad mengatakan bahwa telah bercerita kepada kami Abdul Mughirah,”Telah bercerita kepada kami Shafwan berkata bahwa para syeikh telah mengatakan,”Apabila dibacakan—surat yasin—terhadap orang yang menjelang kematian maka akan diringankan bebannya. (Tafsir al Qur’anil Azhim juz VI hal 562)
Hadits-hadits lain tentang keutamaan surat yasin seperti sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang membaca yasin maka Allah akan tuliskan pembacaannya itu sama dengan membaca al qur’an sepuluh kali selain yasin.” Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini gharib yaitu diriwayatkan hanya oleh satu orang saja.
Sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang membaca yasin pada suatu malam dengan mengharapkan wajah Allah maka dia akan diampuni.” (HR. Malik, Ibnus Sunni dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban) dan hadits dinyatakan lemah oleh Imam al Haitsami.
Tentang keutamaan membaca yasin ini telah diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”Siapa yang membaca surat yasin pada suatu malam maka pada pagi harinya ia dalam keadaan diampuni. Siapa yang membaca hamiim yang didalamnya disebutkan ad dukhan maka pada pagi harinya ia dalam keadaan diampuni.” Ibnul Jauzi pun menyatakan bahwa seluruh jalan hadits ini adalah batil yang tidak memiliki dasar. (al Maudhu’at juz I hal 247)
Didalam hadits-hadits yang menyatakan pembacaan yasiin pada suatu malam—meskipun sebagiannya lemah atau bahkan maudhu’—disebutkan secara mutlak atau tidak ada pengkhususan pembacaannya pada malam-malam tertentu, seperti malam jum’at atau malam lainnya.
Hal itu sejalan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairoh dari Nabi saw bersabda,”Janganlah kamu mengkhususkan malam jum’at dengan suatu qiyam (shalat malam) diantara malam-malam lainnya. Janganlah kamu mengkhususkan hari jum’at dengan puasa tertentu diantara hari-hari lainnya kecuali apabila hari itu bertepatan dengan puasa salah seorang diantaramu.” (HR. Muslim)
KEUTAMAAN SHOLAT TAHAJUD
by WELCOME TO BLOGGER on Nov.22, 2009, under
Berfirman Allah SWT di dalam Al-Qur’an :
“ Pada malam hari, hendaklah engkau shalat Tahajud sebagai tambahan bagi engkau. Mudah-mudahan Tuhan mengangkat engkau ketempat yang terpuji.”
(QS : Al-Isro’ : 79)
Shalat Tahajud adalah shalat yang diwajibkan kepada Nabi SAW sebelum turun perintah shalat wajib lima waktu. Sekarang shalat Tahajud merupakan shalat yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan .
Sahabat Abdullah bin
Salam mengatakan, bahwa Nabi SAW telah bersabda :
“ Hai sekalian manusia, sebarluaskanlah salam dan berikanlah makanan serta sholat malamlah diwaktu manusia sedang tidur, supaya kamu masuk Sorga dengan selamat.”(HR Tirmidzi)
Bersabda Nabi Muhammad SAW :
“Seutama-utama shalat sesudah shalat fardhu ialah shalat sunnat di waktu malam” ( HR. Muslim )
Waktu Untuk Melaksanakan Sholat Tahajud :
Kapan afdhalnya shalat Tahajud dilaksanakan ? Sebetulnya waktu untuk melaksanakan shalat Tahajud ( Shalatul Lail ) ditetapkan sejak waktu Isya’ hingga waktu subuh ( sepanjang malam ). Meskipun demikian, ada waktu-waktu yang utama, yaitu :
1. Sangat utama : 1/3 malam pertama ( Ba’da Isya – 22.00 )
2. Lebih utama : 1/3 malam kedua ( pukul 22.00 – 01.00 )
3. Paling utama : 1/3 malam terakhir ( pukul 01.00 – Subuh )
Menurut keterangan yang sahih, saat ijabah (dikabulkannya do’a) itu adalah 1/3 malam yang terakhir. Abu Muslim bertanya kepada sahabat Abu Dzar : “ Diwaktu manakah yang lebih utama kita mengerjakan sholat malam?”
Sahabat Abu Dzar menjawab : “Aku telah bertanya kepada Rosulullah SAW sebagaimana engkau tanyakan kepadaku ini.” Rosulullah SAW bersabda :
“Perut malam yang masih tinggal adalah 1/3 yang akhir. Sayangnya sedikit sekali orang yang melaksanakannya.” (HR Ahmad)
Bersabda Rosulullah SAW :
“ Sesungguhnya pada waktu malam ada satu saat ( waktu. ). Seandainya seorang Muslim meminta suatu kebaikan didunia maupun diakhirat kepada Allah SWT, niscaya Allah SWT akan memberinya. Dan itu berlaku setiap malam.” ( HR Muslim )
Nabi SAW bersabda lagi :
“Pada tiap malam Tuhan kami Tabaraka wa Ta’ala turun ( ke langit dunia ) ketika tinggal sepertiga malam yang akhir. Ia berfirman : “ Barang siapa yang menyeru-Ku, akan Aku perkenankan seruannya. Barang siapa yang meminta kepada-Ku, Aku perkenankan permintaanya. Dan barang siapa meminta ampunan kepada-Ku, Aku ampuni dia.” ( HR Bukhari dan Muslim )
Jumlah Raka’at Shalat Tahajud :
Shalat malam (Tahajud) tidak dibatasi jumlahnya, tetapi paling sedikit 2 ( dua ) raka’at. Yang paling utama kita kekalkan adalah 11 ( sebelas ) raka’at atau 13 ( tiga belas ) raka’at, dengan 2 ( dua ) raka’at shalat Iftitah. Cara (Kaifiat) mengerjakannya yang baik adalah setiap 2 ( dua ) rakaat diakhiri satu salam. Sebagaimana diterangkan oleh Rosulullah SAW :“ Shalat malam itu, dua-dua.” ( HR Ahmad, Bukhari dan Muslim )
Adapun Kaifiat yang diterangkan oleh Sahabat Said Ibnu Yazid, bahwasannya Nabi Muhammad SAW shalat malam 13 raka’at, sebagai berikut :
1) 2 raka’at shalat Iftitah.
2) 8 raka’at shalat Tahajud.
3) 3 raka’at shalat witir.
Adapun surat yang dibaca dalam shalat Tahajud pada raka’at pertama setelah surat Al-Fatihah ialah Surat Al-Baqarah ayat 284-286. Sedangkan pada raka’at kedua setelah membaca surat Al-Fatihah ialah surat Ali Imron 18-19 dan 26-27. Kalau surat-surat tersebut belum hafal, maka boleh membaca surat yang lain yang sudah dihafal.Rasulullah SAW bersabda :
“Allah menyayangi seorang laki-laki yang bangun untuk shalat malam, lalu membangunkan istrinya. Jika tidak mau bangun, maka percikkan kepada wajahnya dengan air. Demikian pula Allah menyayangi perempuan yang bangun untuk shalat malam, juga membangunkan suaminya. Jika menolak, mukanya
disiram air.” (HR Abu Daud)
Bersabda Nabi SAW :
“Jika suami membangunkan istrinya untuk shalat malam hingga
keduanya shalat dua raka’at, maka tercatat keduanya dalam golongan (perempuan/laki-laki) yang selalu berdzikir.”(HR Abu Daud)
Keutamaan Shalat Tahajud :
Tentang keutamaan shalat Tahajud tersebut, Rasulullah SAW suatu hari bersabda : “Barang siapa mengerjakan shalat Tahajud dengan
sebaik-baiknya, dan dengan tata tertib yang rapi, maka Allah SWT akan memberikan 9 macam kemuliaan : 5 macam di dunia dan 4 macam di akhirat.”
Adapun lima keutamaan didunia itu, ialah :
1. Akan dipelihara oleh Allah SWT dari segala macam bencana.
2. Tanda ketaatannya akan tampak kelihatan dimukanya.
3. Akan dicintai para hamba Allah yang shaleh dan dicintai oleh
semua manusia.
4. Lidahnya akan mampu mengucapkan kata-kata yang mengandung hikmah.
5. Akan dijadikan orang bijaksana, yakni diberi pemahaman dalam agama.
Sedangkan yang empat keutamaan diakhirat, yaitu :
1. Wajahnya berseri ketika bangkit dari kubur di Hari Pembalasan nanti.
2. Akan mendapat keringanan ketika di hisab.
3. Ketika menyebrangi jembatan Shirotol Mustaqim, bisa melakukannya dengan sangat cepat, seperti halilintar yang menyambar.
4. Catatan amalnya diberikan ditangan kanan.
KEUTAMAAN SHOLAT DHUHA
by WELCOME TO BLOGGER on Nov.22, 2009, under
Hadits Rasulullah SAW terkait shalat dhuha antara lain :
“Barang siapa shalat Dhuha 12 rakaat, Allah akan membuatkan untuknya istana disurga” (H.R. Tarmiji dan Abu Majah)
"Siapapun yang melaksanakan shalat dhuha dengan langgeng, akan diampuni dosanya oleh Allah, sekalipun dosa itu sebanyak busa lautan." (H.R Turmudzi)
"Dari Ummu Hani bahwa Rasulullah SAW shalat dhuha 8 rakaat dan bersalam tiap dua rakaat." (HR Abu Daud)
"Dari Zaid bin Arqam ra. Berkata,"Nabi SAW keluar ke penduduk Quba dan mereka sedang shalat dhuha‘. Beliau bersabda,?Shalat awwabin (duha‘) berakhir hingga panas menyengat (tengah hari)." (HR Ahmad Muslim dan Tirmidzi)
Pada dasarnya doa setelah shalat dhuha dapat menggunakan do'a apapun. Doa yang biasa dilakukan oleh Rasulullah selepas shalat dhuha adalah :
"Ya Allah, bahwasanya waktu Dhuha itu adalah waktu Dhuha-Mu, kecantikan ialah kecantikan-Mu, keindahan itu keindahan-Mu, dan perlindungan itu, perlindungan-Mu". "Ya Allah, jika rezekiku masih di atas langit, turunkanlah dan jika ada di dalam bumi , keluarkanlah, jika sukar mudahkanlah, jika haram sucikanlah, jika masih jauh dekatkanlah, berkat waktu Dhuha, keagungan, keindahan, kekuatan dan kekuasaan-Mu, limpahkanlah kepada kami segala yang telah Engkau limpahkan kepada hamba-hamba-Mu yang shaleh".
KEUTAMAAN HARI SENIN & KAMIS
by WELCOME TO BLOGGER on Nov.22, 2009, under
Dalil yang menguatkan hal ini adalah hadits yang termaktub dalam shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Pintu-pintu Surga di buka pada hari Senin dan Kamis. Maka semua hamba yang tidak menyekutukan Alloh dengan sesuatu apapun akan diampuni dosa-dosanya, kecuali seseorang yang antara dia dan saudaranya terjadi permusuhan. Lalu dikatakan, ‘Tundalah pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai, tundalah pengampunan terhadap kedua orang ini sampai keduanya berdamai, tundalah pengampunan terhadap orang ini sampai keduanya berdamai.” (HR. Muslim)
Keutamaan dan keberkahan berikutnya, bahwa amal-amal manusia diperiksa di hadapan Alloh pada kedua hari ini. Sebagaimana yang terdapat dalam shahih Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam. Beliau bersabda:
“Amal-amal manusia diperiksa di hadapan Alloh dalam setiap pekan (Jumu’ah) dua kali, yaitu pada hari Senin dan Kamis. Maka semua hamba yang beriman terampuni dosanya, kecuali seorang hamba yang di antara dia dan saudaranya terjadi permusuhan…” (HR. Muslim)
Karena itu, selayaknya bagi seorang Muslim untuk menjauhkan diri dari memusuhi saudaranya sesame Muslim, atau memutuskan hubungan dengannya, ataupun tidak memperdulikannya dan sifat-sifat tercela lainnya, sehingga kebaikan yang besar dari Allah Ta’ala ini tidak luput darinya.
2. Keutamaan hari Senin dan Kamis yang lainnya, bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam sangat antusias berpuasa pada kedua hari ini.
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia mengatakan,
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sangat antusias dan bersungguh-sungguh dalam melakukan puasa pada hari Senin dan Kamis”. (HR. Tirmidzi, an-Nasa-i, Ibnu Majah, Imam Ahmad)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menyampaikan alasan puasanya pada kedua hari ini dengan sabdanya,
“Amal-amal manusia diperiksa pada setiap hari senin dan Kamis, maka aku menyukai amal perbuatanku diperiksa sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.” (HR. At Tirmidzi dan lainnya)
Dalam shahih Muslim dari hadits Abu Qatadah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pernah ditanya tentang puasa hari Senin, beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab,
“Hari tersebut merupakan hari aku dilahirkan, dan hari aku diutus atau diturunkannya Al-Qur’an kepadaku pada hari tersebut.” (HR.Muslim)
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Tidak ada kontradiksi antara dua alasan tersebut.” (Lihat Subulus Salam)
Berdasarkan hadits-hadits di atas maka di sunnahkan bagi seorang Muslim untuk berpuasa pada dua hari ini, sebagai puasa tathawwu’ (sunnah).
3. Keutamaan lain yang dimiliki hari Kamis, bahwa kebanyakan perjalanan (safar) Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam terjadi pada hari Kamis ini.
Beliau menyukai keluar untuk bepergian pada hari Kamis. Sebagaimana tercantum dalam Shahih Bukhari bahwa Ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhu mengatakan:
“Sangat jarang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam keluar (untuk melakukan perjalanan) kecuali pada hari Kamis.”
Dalam riwayat lain juga dari Ka’ab bin Malik radhiallahu ‘anhu:
“Bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam keluar pada hari Kamis di peperangan Tabuk, dan (menang) beliau suka keluar (untuk melakukan perjalanan) pada hari Kamis.” (HR.Bukhori)
KEUTAMAAN MALAM JUMÁT
by WELCOME TO BLOGGER on Nov.22, 2009, under
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya malam Jum’at dan harinya adalah 24 jam milik Allah Azza wa Jalla. Setiap jamnya ada enam ratus ribu orang yang diselamatkan dari api neraka.”
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Barangsiapa yang mati di antara matahari tergelincir hari Kamis hingga matahari tergelincir hari Jum’at, Allah melindunginya dari siksa kubur yang menakutkan.”
Imam ja’far Ash-Shadiq (sa) juga berkata: “Malam Jum’at dan hari Jum’at mempunyai hak, maka janganlah sia-siakan kemuliaannya, jangan mengurangi ibadah, dekatkan diri kepada Allah dengan amal-amal shaleh, tinggalkan semua yang haram. Karena di dalamnya Allah swt melipatgandakan kebaikan, menghapus kejelekan, dan mengangkat derajat. Hari Jum’at sama dengan malamnya. Jika kamu mampu, hidupkan malam dan siangnya dengan doa dan shalat. Karena di dalamnya Allah mengutus para Malaikat ke langit dunia untuk melipatgandakan kebaikan dan menghapus keburukan, sesungguhnya Allah Maha Luas ampunan-Nya dan Maha Mulia.”
Dalam hadis yang mu’tabar, Imam Ja’far Ash-Shadiq berkata: “Sesungguhnya orang mukmin yang memohon hajatnya kepada Allah, Ia menunda hajat yang dimohonnya hingga hari Jum’at agar ia memperoleh keutamaan yang khusus (dilipatgandakan karena keutamaan hari Jum’at).”
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Ketika saudara Yusus meminta kepada Ya’qub agar ia memohonkan ampunan untuk mereka, ia berkata, Tuhanku akan mengampunimu. Kemudian ia mengakhirkan istighfarnya hingga dini hari Jum’at agar permohonannya diijabah.”
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Jika malam Jum’at tiba semua binatang laut dan binatang darat mengangkat kepalanya seraya memanggil dengan bahasanya masing-masing: Wahai Tuhan kami, jangan siksa kami karena dosa-dosa anak cucu Adam.”
Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Allah swt memerintahkan kepada Malaikat agar pada setiap malam Jum’at ia menyeru dari bawah Arasy dari awal malam hingga akhir malam: Tidak ada seorang pun hamba mukmin yang berdoa kepada-Ku untuk keperluan akhirat dan dunianya sebelum terbit fajar kecuali Aku mengijabahnya, tidak ada seorang pun mukmin yang bertaubat kepada-Ku dari dosa-dosanya sebelum terbit fajar kecuali Aku menerima taubatnya, tidak ada seorang pun mukmin yang sedikit rizkinya lalu ia memohon kepada-Ku tambahan rizkinya sebelum terbit fajar kecuali Aku menambah dan meluaskan rizkinya, tidak ada seorang pun hamba mukmin yang sedang sakit lalu ia memohon kepada-Ku untuk kesembuhannya sebelum terbit fajar kecuali Aku memberikan kesembuhan, tidak ada seorang hamba mukmin yang sedang kesulitan dan menderita lalu ia memohon kepada-Ku agar dihilangkan kesulitannya sebelum terbit fajar kecuali Aku menghilangkannya dan menunjukkan jalannya, tidak ada seorang pun hamba yang sedang dizalimi lalu ia memohon kepada-Ku agar Aku mengambil kezalimannya sebelum terbit fajar kecuali Aku menolongnya dan mengambil kezalimannya; Malaikat terus-menerus berseru hingga terbit fajar.”
Ali bin Abi Thalib (sa) berkata: “Sesungguhnya Allah swt memilih Jum’at, lalu menjadikan harinya sebagai hari raya, dan memilih malamnya menjadi malam hari raya. Di antara keutamaannya adalah orang yang momohon hajatnya kepada Allah Azza wa Jalla pada hari Jum’at Allah mengijabahnya; suatu bangsa yang sudah layak menerima azab lalu mereka memohon pada malam dan hari Jum’at Allah pasti menyelamatkan mereka darinya. Tidak ada sesuatu pun yang Allah tentukan dan utamakan kecuali Ia menentukannya pada malam Jum’at. Karena itu, malam Jum’at adalah malam yang paling utama, dan harinya adalah hari yang paling utama.”
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: ” Jauhilah maksiat pada malam Jum’at, karena pada malam itu keburukan dilipatgandakan dan kebaikan dilipatgandakan. Baransiapa yang meninggalkan maksiat kepada Allah pada malam Jum’at Allah mengampuni semua dosa yang lalu, dan barangsiapa yang menampakkan kemaksiatan kepada Allah pada malam Jum’at Allah menyiksanya dengan semua amal yang ia lakukan sepanjang umurnya dan melipatgandakan siksa padanya akibat maksiat itu.”
Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya hari Jum’at adalah penghulu semua hari, di dalamnya Allah azza wa jalla melipatgandakan kebaikan, menghapus keburukan, mengangkat derajat, mengijabah doa, menghilangkan duka, dan menunaikan hajat-hajat yang besar. Hari Jum’at adalah hari Allah menambah jumlah orang-orang yang dibebaskan dari neraka. Tidak ada seorang pun manusia yang memohon perlindungan di dalamnya dan ia mengenal hak-Nya serta yang diharamkan-Nya, kecuali Allah berhak membebaskan dan menyelamatkan ia dari neraka. Jika ia mati pada hari Jum’at atau malamnya, ia mati syahid dan membangkitkan dari kuburnya dalam keadaan aman.Tidak ada seorang pun yang meremehkan apa yang diharamkan oleh
Allah dan menyia-nyiakan hak-Nya, kecuali Allah berhak mencampakkannya ke dalam neraka Jahannam kecuali ia bertaubat.”
Imam Muhammad Al-Baqir (sa) berkata: “Tidak ada terbit matahari yang lebih utama dari hari Jum’at, dan sesungguhnya pembicaraan burung pun jika ia berjumpa dengan yang lain pada hari ini, ia mengucapkan salam, salam kebaikan dan kedamaian.”
Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata: “Jika kalian memasuki hari Jum’at, maka janganlah kalian disibukkan oleh sesuatu selain ibadah, karena hari itu adalah hari pengampunan bagi hanba hamba Allah; pada hari Jum’at dan malam Jum’at Allah menurunkan kepada mereka rahmat dan karunia lebih banyak daripada mengambilnya dalam waktu yang singkat.”
(Fafâtihul Jinân, bab 1, pasal 4, halaman 28-38 )
ETIKA MENYAMBUT HARI JUMÁT
by WELCOME TO BLOGGER on Nov.22, 2009, under
Mandi pada hari Jumat wajib hukumnya bagi setiap muslim yang baligh berdasarkan hadits Abu Sa’id Al Khudri, di mana Rasulullah bersabda, yang artinya, “Mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang baligh.” (HR. Bukhori dan Muslim). Mandi Jumat ini diwajibkan bagi setiap muslim pria yang telah baligh, tetapi tidak wajib bagi anak-anak, wanita, orang sakit, dan musafir. Sedangkan waktunya adalah sebelum berangkat sholat Jumat. Adapun tata cara mandi Jumat ini seperti halnya mandi jenabat biasa. Rasulullah bersabda yang artinya, “Barangsiapa mandi Jumat seperti mandi jenabat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
A. Berpakaian Bersih dan Memakai Wangi-Wangian
Rasulullah berkata, "Siapa yang mandi pada hari Jumat, bersuci sesuai kemampuan, merapikan rambutnya, mengoleskan parfum, lalu berangkat ke masjid, dan masuk masjid tanpa melangkahi di antara dua orang untuk dilewatinya, kemudian shalat sesuai tuntunan dan diam tatkala imam berkhutbah, niscaya diampuni dosa-dosanya di antara dua Jum'at." [HR. Bukhari]
B. Menghentikan Aktivitas Jual-Beli dan Menyegerakan ke Masjid
Anas bin Malik berkata, “Kami berpagi-pagi menuju sholat Jumat dan tidur siang setelah sholat Jumat.” (HR. Bukhari). Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Makna hadits ini yaitu para sahabat memulai sholat Jumat pada awal waktu sebelum mereka tidur siang, berbeda dengan kebiasaan mereka pada sholat zuhur ketika panas, sesungguhnya para sahabat tidur terlebih dahulu, kemudian sholat ketika matahari telah rendah panasnya.” (Lihat Fathul Bari II/388)
C. Sholat Sunnah Sebelum dan Sesudah Shalat Jumat
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa mandi kemudian datang untuk sholat Jumat, lalu ia sholat semampunya dan dia diam mendengarkan khotbah hingga selesai, kemudian sholat bersama imam maka akan diampuni dosanya mulai Jumat ini sampai Jumat berikutnya ditambah tiga hari.” [HR. Muslim]
D. Membaca Surat Al Kahfi
Nabi bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jumat maka Allah akan meneranginya di antara dua Jumat.”
E. Memperbanyak Shalawat.
Dari Anas ra, Rasulullah bersabda: "Perbanyaklah shalawat pada hari Jumat dan malam Jumat." [HR. Baihaqi]
Dari Aus Radhiallahu 'anhu, dia mengatakan, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, bersabda: "Sebaik-baik hari kalian adalah hari Jumat: pada hari itu Adam diciptakan, pada hari itu beliau diwafatkan, pada hari itu sangkakala ditiup, pada hari itu manusia bangkit dari kubur, maka perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari itu, karena shalawat kalian akan diperlihatkan kepadaku", para shahabat bertanya: "wahai Rasulullah, bagaimana diperlihatkan kepada engkau sedangkan tubuh engkau sudah hancur (sudah menyatu dengan tanah ketika sudah wafat), Beliau menjawab: "sesungguhnya Allah Subhanahu Wata'ala mengharamkan kepada bumi untuk memakan (menghancurkan) jasad para Nabi." [HR, "al-Khamsah]
KEUTAMAAN HARI JUMÁT
by WELCOME TO BLOGGER on Nov.22, 2009, under
Beberapa rahasia keagungan hari Jumat adalah sebagai berikut;
Pertama, Hari Keberkahan. Di mana di hari Jumat berkumpul kaum Muslimin di masjid-masjid untuk mengikuti shalat dan sebelumnya mendengarkan dua khutbah Jumat yang mengandung pengarahan dan pengajaran serta nasihat-nasihat yang ditujukan kepada kaum muslimin yang kesemuanya mengandung manfaat agama dan dunia. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah menyebut hari Jumat memiliki 33 keutamaan. Bahkan Imam as-Suyuthi menyebut ada 1001 keistimewaan.
Kedua, Hari Dikabulkannya doa. Di antara rahasia keutamaan hari Jumat lain adalah, di hari itu terdapat waktu-waktu dikabulkannya doa.
“Di hari Jumat itu terdapat satu waktu yang jika seorang Muslim melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan.’ Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya waktu itu.” [HR.Bukhari dan Muslim]
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya pada hari Jumat terdapat waktu mustajab bila seorang hamba muslim melaksanakan shalat dan memohon sesuatu kepada Allah pada waktu itu, niscaya Allah akan mengabulkannya.” [Muttafaqun Alaih]
Ketiga, Hari Diperintahkannya Shalat Jumat. Rasulullah bersabda, “Hendaklah kaum-kaum itu berhenti dari meninggalkan shalat Jumat. Atau (jika tidak) Allah pasti akan mengunci hari mereka, kemudian mereka pasti menjadi orang-orang yang lalai.” [Muslim]. Dalam riwayat lain Rasulullah menyebutkan, “Shalat Jumat adalah hak yang diwajibkan kepada setiap Muslim kecuali empat orang; budak atau wanita, atau anak kecil, atau orang sakit.” [Abu Daud]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٩)
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” [QS: Al-Jumu'ah:9]
مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنَ اْلإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامُهَا وَقِيَامُهَا
“Barangsiapa yang bersuci dan mandi, kemudian bergegas dan mendengar khutbah dari awal, berjalan kaki tidak dengan berkendaraan, mendekat dengan imam, lalu mendengarkan khutbah dan tidak berbuat sia-sia, maka baginya bagi setiap langkah pahala satu tahun baik puasa dan shalatnya..”
,Keempat, Hari Pembeda antara Islam dan Non-Muslim. Hari Jumat adalah hari istimewa bagi kaum Muslim. Selain itu diberikan Nabi untuk membedakan antara harinya orang Yahudi dan orang Nashrani.
Abu Hurairah meriwayatkan, Rasulullah bersabda: "Allah telah memalingkan orang-orang sebelum kita untuk menjadikan hari Jumat sebagai hari raya mereka, oleh karena itu hari raya orang Yahudi adalah hari Sabtu, dan hari raya orang Nasrani adalah hari Ahad, kemudian Allah memberikan bimbingan kepada kita untuk menjadikan hari Jumat sebagai hari raya, sehingga Allah menjadikan hari raya secara berurutan, yaitu hari Jumat, Sabtu, dan Ahad. Dan di hari kiamat mereka pun akan mengikuti kita seperti urutan tersebut, walaupun di dunia kita adalah penghuni yang terakhir, namun di hari kiamat nanti kita adalah urutan terdepan yang akan diputuskan perkaranya sebelum seluruh makhluk." [HR. Muslim]
Kelima, Hari Allah menampakkan diri. Dalam sebuah riwayat disebutkan,Hari Jumat Allah menampakkan diri kepada hamba-hamba-Nya yang beriman di Surga. Dari Anas bin Malik dalam mengomentari ayat: "Dan Kami memiliki pertambahannya" (QS.50:35) mengatakan: "Allah menampakkan diri kepada mereka setiap hari Jumat."
Masih banyak keistimewan hari Jumat. Di antaranya adalah; Dalam "al-Musnad" dari hadits Abu Lubabah bin Abdul Munzir, dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam, beliau bersabda:
"Penghulunya hari adalah hari Jumat, ia adalah hari yang paling utama di sisi Allah Subhanahu Wata'ala, lebih agung di sisi Allah Subhanahu Wata'ala dari pada hari Idul Fitri dan Idul Adha. Pada hari Jumat tersebut terdapat lima keistimewaan: Hari itu, bapak semua umat manusia, Nabi Adam 'Alaihissalam diciptakan, diturunkan ke dunia, dan wafat. Hari kiamat tak akan terjadi kecuali hari Jum’at.
Karena itu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, sangat memuliakan hari ini, menghormatinya, dan mengkhususkannya untuk beribadah dibandingkan hari-hari lainnya.
SYEKH JALALUDIN RUMI
by WELCOME TO BLOGGER on Nov.22, 2009, under
Maulana (secara harfiah bermakna “Guru Kita”) Jalaluddin Rumi, pendiri Tarekat Para Darwis Berputar, dalam karirnya menjadi bukti ungkapan Timur, “Para raksasa muncul dari Afghanistan dan mempengaruhi dunia.” Ia dilahirkan di Bactria, dari sebuah keluarga bangsawan pada awal abad ketiga belas. Ia tinggal dan mengajar di Iconum (Rum) di Asia Kecil, sebelum munculnya Kerajaan Utsmani, yang tahtanya menurut seruannya ia tolak. Karya-karyanya ditulis dalam bahasa Persia, dan dipandang tinggi oleh orang Persia karena kandungan puitis, kesusastraan dan mistiknya. Sehingga karya-karya ini disebut sebagai “al-Qur’an dalam bahasa Pehlevi (bahasa Persia)” — meskipun karya-karya ini bertentangan dengan kepercayaan bangsa Persia, sekte Syi’ah, yang dikritik atas eksklusivismenya.
Di kalangan orang Muslim Arab, India dan Pakistan, Rumi dipandang sebagai salah seorang dari guru mistik tingkat pertama — meskipun ia menyatakan bahwa ajaran-ajaran al-Qur’an bersifat alegoris,dan ia memiliki tujuh makna yang berbeda. Jangkauan pengaruh Rumi sulit untuk bisa diperkirakan, meskipun hal ini terkadang bisa dilihat secara sekilas, pada kesusastraan dan pemikiran dari berbagai madzhab. Bahkan Doktor Johnson, yang terkenal karena pernyataannya yang tidak menyenangkan, mengatakan tentang Rumi, “Ia menjelaskan kepada Peziarah akan rahasia-rahasia dari jalan Kesatuan, dan menyingkap Misteri-misteri dari jalan Kebenaran Abadi.”
Karyanya telah cukup dikenal dalam kurun waktu kurang dari seratus tahun setelah kematiannya pada 1273, karena Chaucer menggunakannya sebagai rujukan sebagian karyanya, bersama-sama dengan bahan dari ajaran-ajaran guru spiritual Rumi, Aththar sang Kimiawan (1150-1229/30). Dan berbagai rujukan terhadap bahan bahasa Arab yang bisa ditemukan pada Chaucer, bahkan suatu pengujian secara cepat memperlihatkan suatu pengaruh Sufi dari Madzhab Rumi dalam literatur. Penggunaan Chaucer terhadap ungkapan seperti, “Singa mungkin bisa mengambil pelajaran ketika seekor anjing dihukum …,” merupakan adaptasi semata yang terkait pada kata-kata, idhtrib al-kalba wa ya’khud addaba al-fahdu (“Pukullah anjing dan singa akan mengambil pelajaran!”), sebagai suatu ungkapan rahasia yang digunakan oleh Para Darwis Berputar. Penafsirannya bergantung pada suatu permainan pada kata-kata “anjing” dan “singa”. Meskipun ditulis demikian rupa, pengucapan kata kunci tersebut dipergunakan secara homofone. Sebagai ganti mengucapkan “anjing” (kalb), Sufi mengatakan “hati” (qalb), dan sebagai ganti kata “singa” (fahdu) adalah kata fahid (“kelalaian”). Ungkapan tersebut sekarang menjadi, “Pukullah hati (dengan latihan-latilian Sufi) dan kelalaian (fakultas-fakultas [jiwa]) akan bersikap (dengan benar).”
Ini merupakan slogan yang memperkenalkan gerakan-gerakan “pemukulan hati” yang didorong oleh gerakan dan konsentrasi pada Mevlevi — “Para Darwis Berputar”.
Hubungan antara Canterbury Tales (Cerita-cerita Canterbury) sebagai sebuah alegori perkembangan batin dan Parliament of the Birds dari Aththar merupakan persoalan menarik lamnya. Profesor Skeat mengingatkan kita bahwa, seperti Aththar, Chaucer memiliki tiga puluh pengikut. Tiga puluh Peziarah tersebut mencari burung mistik, dan nama burung itu adalah Simurgh. Nama ini masuk akal dalam bahasa Persia, sebab Simurgh bermakna “tiga puluh burung”.
Akan tetapi dalam bahasa Inggris pengubahan (bentuk) semacam ini tidaklah mungkin. Jumlah peziarah tersebut, yang diperlukan dalam bahasa Persia sebab adanya persyaratan irama, dipertahankan Chaucer, menghilangkan makna ganda. The Pardoner’s Tale terdapat pada Aththar, cerita pohon pear ditemukan pada Kitab IV dari karya Sufinya Rumi, Matsnawi.
Pengaruh Rumi, baik dalam gagasan maupun secara tekstual, cukup besar di Barat. Karena semua karyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Barat pada tahun-tahun terakhir ini, maka dampaknya semakin besar. Tetapi jika ia, seperti ProfesorArberry menyebutnya, “benar-benar penyair mistis terbesar dalam sejarah manusia,” maka puisi-puisi sendiri yang di dalamnya begitu banyak memaparkan ajaran-ajarannya, hanya benar-benar bisa diapresiasi dalam bahasa Persia aslinya. Meskipun demikian, ajaran-ajaran dan metode-metode yang dipergunakan oleh Para Darwis Berputar dan madzhab-madzhab lainnya yang dipengaruhi Rumi, tidaklah terlalu sulit ditemukan, dengan syarat bahwa cara dalam meletakkan kebenaran-kebenaran esoterik tersebut bisa dipahami.
Ada tiga dokumen dimana melalui ini karya Rumi bisa dikaji oleh dunia luar. Kitab Matsnawi-i-Manawi (Sajak-sajak Spiritual) merupakan karya utama Jalaluddin — terdiri dari enam kitab (bagian) puisi dan metafora yang bentuk aslinya memiliki kekuatan sedemikian rupa, sehingga pembacaannya bisa menghasilkan suatu kebahagiaan (spiritual) kompleks secara aneh bagi kesadaran pendengarnya.
Karya ini diselesaikan dalam waktu empat puluh tiga tahun. Sebenarnya ia tidak bisa dikritik sebagai karya puisi, sebab mengandung gagasan, bentuk dan penyajian yang pelik dan khas. Mereka yang mencari bait konvensional semata di dalamnya, seperti dinyatakan Profesor Nicholson, harus membolak-balik karya tersebut secara cepat. Dan kemudian mereka akan kehilangan pengaruh dari apa yang sesungguhnya merupakan suatu bentuk seni khusus, yang diciptakan Rumi untuk menyampaikan makna-makna, yang oleh Rumi sendiri diakui tidak memiliki padanan sesungguhnya dalam pengalaman manusia biasa. Mengabaikan pencapaian luar biasa ini sama halnya dengan memilih-milih rasa (makanan) tanpa selai strawberry.
Karena terlalu menekankan peranan puisi besar dalam lautan Matsnawi, terkadang Nicholson memperlihatkan suatu kesukaan terhadap syair formal.
“Matsnawi,” katanya (Introduction, Selection from the Diwan of Shams of Tabriz, hlm. xxxix), “mengandung suatu kekayaan puisi yang mencerahkan. Tetapi para pembacanya harus menempuh jalan melalui apologi, dialog dan penafsiran-penafslran nash-nash Qur’ani, kepelikan-kepelikan metafisis dan petuah-petuah moral secara bersamaan sebelum mereka memiliki kesempatan menikmati suatu bagian dari kidung murni dan tinggi.”
Bagi Sufi, jika bukan bagi siapa saja, kitab ini berbicara dari suatu dimensi yang berbeda, bahkan suatu dimensi yang bagaimanapun berada di dalam dirinya yang terdalam.
Seperti semua karya Sufi, Matsnawi akan beragam pengaruhnya terhadap pendengarnya sesuai dengan kondisi-kondisi dimana karya ini dikaji. Kitab ini memuat lelucon, fabel, pembicaraan, rujukan kepada para mantan guru dan metode-metode yang bisa mengantarkan pada ekstase (ecstatogenic) — suatu contoh fenomenal dari metode pencerai-beraian, dimana sebuah gambar disusun dengan multi-dampak untuk memasukkan pesan ke dalam pikiran Sufi.
Pesan ini, Rumi maupun semua guru Sufi lainnya, secara parsial disusun sebagai jawaban terhadap lingkungan di mana ia bekerja. Ia menciptakan tarian dan gerakan-gerakan memutar di kalangan para muridnya. Menurut riwayat, hal ini disebabkan temperamen lamban dan malas dari orang yang diajarinya. Apa yang disebut sebagai variasi doktrin atau tindakan yang ditetapkan oleh berbagai guru Sufi sebenarnya tidak lain merupakan penerapan dari aturan ini.
Dalam sistem pengajarannya, Rumi mempergunakan penjelasan dan latihan mental, pemikiran dan meditasi, kerja dan bermain, tindakan dan diam. Gerakan-gerakan “tubuh-pikiran” dari Para Darwis Berputar dibarengi dengan musik tiup untuk mengiringi gerakan-gerakan tersebut, merupakan hasil dari metode khusus yang dirancang untuk membawa seorang Salik mencapai afinitas dengan arus mistis, untuk ditransformasikan melalui cara ini. Segala sesuatu yang dipahami oleh orang yang belum tercerahkan (orang biasa) memiliki kegunaan dan makna dalam konteks khusus Sufisme yang mungkin tidak terlihat sampai hal itu dialami. “Doa,” ucap Rumi, “memiliki bentuk, suara dan realitas fisiknya. Segala sesuatu yang memiliki kata (nama), memiliki padanan fisiknya. Dan setiap pemikiran memiliki suatu (bentuk) tindakan.”
Salah satu karakteristik yang benar-benar Sufistik dari Rumi adalah bahwa, sekalipun tentu ia akan memberikan pernyataan tegas yang paling tidak populer — bahwa orang biasa, apa pun pencapaian formalnya, tidak dewasa dalam mistisisme — ia juga memberikan kesempatan bagi hampir semua orang untuk mencapai kemajuan menuju penyempurnaan nasib manusia.
Seperti para Sufi yang berada di dalam suatu atmosfir teologis, pertama kali Rumi menunjukkan para pendengar terhadap persoalan agama. Ia menekankan bahwa bentuk dimana didalamnya merupakan kebiasaan dalam beragama dan bersifat emosional yang dipahami oleh badan-badan (lembaga) terorganisir, tidaklah benar. Tabir Cahaya, yang merupakan penghalang yang diakibatkan oleh sikap pembenaran diri, adalah lebih berbahaya dibanding Tabir Kegelapan, yang dihasilkan didalam pikiran oleh kejahatan. Pemahaman hanya bisa dihasilkan dengan cinta, bukan dengan pelatihan melalui cara-cara terorganisir.
Baginya (Rumi), para guru tertua dari agama-agama adalah benar. Para penerusnya, kecuali sebagian kecil, mengelola persoalan-persoalan itu sedemikian rupa sehingga secara menyeluruh menutup kemungkinan pencerahan. Sikap ini menuntut suatu pendekatan baru terhadap persoalan-persoalan agama. Rumi memahami seluruh persoalan tersebut di luar saluran normal. Ia tidak dipersiapkan untuk menyerahkan dogma pada studi dan dalil (argumen). “Agama sejati,” tuturnya, “adalah berbeda dari yang diduga orang. Oleh sebab itu, tidak ada nilainya untuk mengkaji dan menguji dogma.” “Di dunia ini,” ucapnya, “tidak ada padanan dari hal-hal yang disebut sebagai Arasy (Tuhan), Kitab, Malaikat, Hari Hisab. Perumpamaan digunakan, dan semua itu secara pasti sekadar suatu gagasan kasar tentang sesuatu yang lain.”
Dalam kumpulan ucapan dan ajarannya yang berjudul Fihi Ma Fihi (Di Dalamnya adalah Apa yang Ada di Dalamnya), yang digunakan sebagai buku-buku rujukan para Sufi, ia bahkan melangkah lebih jauh. “Manusia,” tuturnya, “melewati tiga jenjang. Pada jenjang pertama, ia menyembah apa saja –manusia, perempuan, uang, anak-anak, bumi/tanah dan batu. Kemudian, ketika sedikit lebih maju, ia menyembah Tuhan. Pada akhirnya, ia tidak berkata, ‘Aku menyembah Tuhan,’ maupun, ‘Aku tidak menyembah Tuhan.’ Ia telah melewati tahapan ketiga.”
Untuk mendekati jalan Sufi, sang Salik harus menyadari bahwa dirinya, sebagian besar merupakan serangkaian dari apa yang saat ini disebut pengkondisian — gagasan-gagasan kaku dan prasangka, kadang-kadang respon otomatis yang telah terjadi melalui pelatihan orang lain. Manusia tidaklah sebebas yang diduga. Tahapan pertama bagi seseorang adalah untuk melepaskan diri dari pemikiran bahwa dirinya mengerti dan benar-benar mengerti. Tetapi manusia telah diajar, bahwa dirinya bisa memahami melalui proses yang sama, yaitu proses logika. Ajaran ini telah melemahkannya.
“Jika engkau mengikuti cara-cara yang telah diajarkan kepadamu, yang mungkin telah engkau warisi, karena hanya ada alasan lain selain ini, maka engkau tidak logis.”
Pemahaman agama, dan hal-hal yang telah diajarkan oleh para tokoh agama besar, merupakan bagian dari Sufisme. Sufisme menggunakan terminologi dari agama biasa, tetapi dengan cara khas yang selalu menyulut kemarahan dari penganut nominalnya. Secara umum, bagi Sufi, masing-masing guru keagamaan menyimbolkan, dalam ibadahnya dan terutama dalam kehidupannya, suatu aspek dari jalan yang totalitasnya adalah Sufisme. “Yesus ada dalam dirimu,” ucap Rumi; “carilah pertolongannya. Dan kemudian, jangan mencari dari dalam dirimu sendiri, dari Musamu, kebutuhan bagi seorang Fir’aun.”
Jalan-jalan keagamaan yang dirintis Sufi itu dinyatakan oleh Rumi ketika ia mengatakan bahwa jalan Yesus adalah perjuangan dengan kesunyian dan mengatasi nafsu. Jalan Muhammad adalah hidup di dalam masyarakat sebagai manusia biasa. “Pergilah dengan jalan Muhammad!” tuturnya, “tetapi jika engkau tidak mampu, maka pergilah dengan jalan Kristiani!” Di sini Rumi bukan berarti menyeru pendengarnya untuk memeluk salah satu dari agama ini. Ia sesungguhnya menunjukkan jalan-jalan di mana di dalamnya sang Salik bisa menemukan pencerahan melalui pemahaman. Sufi menghargai terhadap jalan-jalan yang dikandung, pada Yesus dan Muhammad.
Demikian juga, ketika Sufi berbicara tentang Tuhan, ia tidak memaksudkan ketuhanan dalam pengertian sebagaimana dipahami oleh seorang yang telah dilatih oleh teolog. Tuhan (dalam pengertian teologis) ini diterima oleh sebagian orang, yakni orang yang saleh; ditolak oleh yang lain, yakni para atheis. Bahkan ia merupakan suatu penolakan, atau penerimaan terhadap sesuatu yang telah diberikan oleh kalangan skolastik dan kependetaan. Tuhan para Sufi tidak dilihat dalam kontroversi ini; sebab bagi Sufi, Tuhan merupakan persoalan pengalaman pribadi.
Semua ini tidak berarti bahwa seorang Sufi berusaha membuang pelatihan fakultas penalaran. Rumi menjelaskan bahwa akal adalah esensial, tetapi ia memiliki tempatnya tersendiri. “jika engkau ingin membuat baju, kunjungilah penjahit, maka akal akan mengatakan kepadamu penjahit mana yang dipilih. Akan tetapi, setelah itu akal harus menahan diri. Engkau harus memberikan kepercayaan penuh kepada penjahit bahwa akan menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan benar.” “Logika,” kata Rumi, “membawa seorang pasien ke dokter. Setelah itu, secara utuh ia berada di tangan sang dokter.”
Tetapi seorang materialis yang terlatih baik, meskipun ia mengaku bahwa dirinya ingin mendengar apa yang bisa dikatakan seorang mistikus kepadanya, tidak bisa diberitahu semua kebenaran. Ia tidak akan mempercayainya. Kebenaran tidak didasarkan materialisime lebih daripada logika. Disinilah mistiskus bekerja dengan serangkaian ranah yang berbeda, sementara seorang materialis hanya pada satu ranah. Akibat dari hubungan mereka pastilah bahwa Sufi bahkan akan tampak tidak konsisten dalam pandangan materialis. Jika pada hari ini ia mengatakan sesuatu yang dikatakannya secara berbeda dengan hari kemarin, ia akan tampak sebagai pembohong. Paling tidak, situasi yang berada pada tujuan-tujuan yang berseberangan akan merusak setiap kesempatan untuk maju dengan sikap saling memahami.
“Mereka yang tidak memahami suatu hal,” ucap Rumi, “akan mengatakan bahwa hal itu tidak berguna. Tangan dan alat adalah bagaikan batu dan baja. Pukullah batu dengan tanah. Apakah percikan api akan terjadi?” Salah satu alasan mengapa Sufi tidak mengajar secara umum adalah karena agamawan yang telah terkondisikan, atau seorang materialis, tidak akan memahaminya:
Seekor burung rajawali raja bertengger di sebuah reruntuhan bangunan yang dihuni oleh burung-burung hantu. Mereka berpendapat bahwa rajawali itu datang untuk mengusir mereka dari rumahnya dan untuk ditempatinya sendiri. “Reruntuhan ini tampak mewah bagi kalian. Bagiku, tempat yang lebih baik adalah di tangan Raja,” tutur si rajawali. Sebagian burung hantu tersebut berteriak, “Jangan mempercayainya. Ia menggunakan tipuan untuk mengambil rumah kita!”
Penggunaan dongeng dan ilustrasi seperti fabel di atas sangat luas di kalangan para Sufi, dan Rumi dikenal sebagai pakarnya.
Pemikirannya yang sama seringkali disampaikan oleh Rumi dalam banyak bentuk, agar bisa dipahami pikiran. Para Sufi mengatakan bahwa suatu idea akan memasuki pikiran yang terkondisikan (tertabiri) hanya jika ia disusun begitu baik sehingga mampu melewati dinding kondisional. Kenyataan bahwa non-Sufi sangat sedikit memiliki kesamaan dengan Sufi itu berdasar pada yang ada dalam setiap diri manusia, dan yang tidak seluruhnya bisa dimatikan oleh bentuk pengondislan apa pun. Unsur-unsur inilah yang mendasari perkembangan Sufi. Salah satu unsur dasar dan permanen adalah unsur cinta. Cinta merupakan faktor yang akan membawa seseorang dan semua orang, pada pencerahan:
“Panasnya ruang pembakaran mungkin terlalu berat bagimu untuk bisa mengambil manfaat dari pengaruh panasnya; sementara nyala api yang lebih lemah dari sebuah lampu bisa memberikan tingkatan panas yang engkau butuhkan.”
Setiap orang, ketika mencapai jenjang tertentu karena kemampuan yang semata-mata bersifat personal, mengira bahwa ia bisa menemukan jalan menuju pencerahan melalui dirinya sendiri. Anggapan ini ditolak oleh para Sufi, sebab mereka mempertanyakan bagaimana seseorang bisa menemukan sesuatu sementara ia tidak tahu apa sebenarnya sesuatu tersebut. “Setiap orang menjadi pencari emas,” ucap Rumi, “tetapi orang awam tidak mengetahuinya ketika ia melihatnya. Jika Anda tidak bisa mengenalinya, bergabunglah dengan orang bijak.”
Orang awam, karena mengira ia berada di jalan pencerahan, seringkali hanya melihat pantulannya. Sinar mungkin bisa dipantulkan ke dinding; dinding tersebut merupakan tempat bagi sinar. “Jangan tempelkan dirimu ke batu-bata dari dinding itu, tetapi carilah (cahaya) asli yang abadi!”
“Air membutuhkan suatu perantara, sebuah tungku, antara tungku dan api itulah air dipanaskan dengan benar.”
Bagaimana cara seorang Salik menemukan tugasnya dalam mencari jalan yang benar? Pertama, ia tidak boleh mengabaikan kerja dan harus tetap “hidup” di dunia. “Jangan menyerah dan berhenti kerja!” perintah Rumi. Sungguh, “Khazanah yang engkau cari berasal darinya.” Ini merupakan satu alasan mengapa semua Sufi harus memiliki sebuah kegiatan konstruktif Meskipun demikian, kerja bukan saja kerja biasa atau bahkan kreativitas yang bisa diterima secara sosial. Ia meliputi kerja-diri; alkimia menjadikan seseorang berkepribadian sempurna: “Wool di tangan seorang yang berpengetahuan, menjadi permadani. Tanah menjadi istana. Kehadiran manusia spiritual menciptakan perubahan serupa.”
Pada awalnya seorang yang bijak merupakan pembimbing seorang murid. Segera setelah memungkinkan, guru ini melepaskan si murid, sebagai orang yang memperoleh hikmahnya sendiri, dan kemudian ia melanjutkan kerja-dirinya. Para guru palsu dalam Sufisme, sebagaimana di mana saja, tidaklah sedikit. Maka para Sufi dihadapkan pada situasi aneh, sebab sementara guru palsu bisa jadi tampak seperti asli (karena ia berusaha keras untuk berpenampilan seperti yang diinginkan muridnya), sedangkan Sufi sejati seringkali tidak seperti apa yang dikira oleh Salik yang belum terlatih dan belum bisa membedakan.
Rumi mengingatkan, “Jangan menilai seorang Sufi sebagai seseorang yang bisa dilihat, sobat. Berapa lama, seperti seorang anak kecil, engkau hanya lebih menyukai kacang dan roti?”
Guru palsu sangat memperhatikan penampilan, dan mengetahui bagaimana membuat seorang murid mengira bahwa ia adalah orang besar, bahwa ia memahaminya, bahwa dirinya memiliki rahasia-rahasia besar yang akan diungkap. Seorang Sufi memiliki banyak rahasia, tetapi ia harus menjadikan rahasia-rahasia tersebut berkembang dalam diri murid. Sufisme merupakan sesuatu yang diberikan kepadanya. Guru palsu akan menjaga para pengikutnya agar tidak menjauh dari dirinya untuk selamanya, tidak mengatakan kepada mereka, bahwa mereka tengah diberikan latihan yang harus berakhir secepat mungkin, sehingga mereka bisa merasakan perkembangan mereka sendiri dan melanjutkan hidup sebagai orang-orang yang tercerahkan.
Rumi menyeru kepada para skolastik, teolog dan pengikut guru palsu, “Kapan kalian berhenti menyembah dan mencintai timbanya? Kapan kaki mulai mencari airnya?” Hal-hal lahiriah merupakan sesuatu yang biasanya dinilai oleh kebanyakan orang. “Ketahuilah perbedaan antara warna anggur dan warna gelasnya.”
Sufi harus mengikuti semua rutinitas pengembangan-diri; sebaliknya semata-mata konsentrasi terhadap salah satunya akan menyebabkan ketimpangan, yang bisa membawa pada kerugian. Laju pengembangan setiap orang berbeda-beda. “Sebagian,” ucap Rumi, “memahami semuanya hanya dengan membaca sebuah baris (ajaran). Yang lain, yang benar-benar telah hadir pada suatu peristiwa, mengetahui semua tentang hal itu. Kemampuan pemahaman berkembang bersama kemajuan spiritual seseorang.”
Meditasi-meditasi Rumi meliputi beberapa gagasan yang mencolok, yang dirancang untuk membawa Salik ke dalam suatu pemahaman tentang kenyataan bahwa secara temporer ia berada di luar hubungan dengan realitas utuh, meskipun kehidupan biasa tampak sebagai totalitas dari realitas itu sendiri. Apa yang kita lihat, apa yang kita rasakan dan alami dalam kehidupan wajar dan belum tercerahkan, menurut pemikiran Sufistik, hanyalah sebagian dari keseluruhan yang besar. Ada dimensi-dimensi yang hanya bisa dicapai melalui upaya keras. Seperti bagian gunung es yang tampak di permukaan, keseluruhan badan gunung itu ada di sana, meskipun tidak terlihat di bawah kondisi-kondisi wajar. Jika seperti gunung es realitas tersebut jauh lebih besar dari yang biasa diduga oleh pengamatan superfisial.
Rumi mempergunakan berbagai analogi untuk menjelaskan hal ini. Salah satu paling mengejutkan adalah teorinya tentang tindakan. Katanya, ada sesuatu yang disebut sebagai tindakan komprehensif, dan juga ada tindakan individual. Kita terbiasa melihat, dalam indera dunia biasa, semata tindakan individu. Semisal, sejumlah orang sedang membuat sebuah tenda. Sebagian menjahit, yang lain mempersiapkan tali, sebagian lagi menenun. Mereka semua ikut ambil bagian dalam suatu tindakan komprehensif, meskipun masing-masing tampak sebagai tindakan individual. Jika kita berpikir tentang pembuatan tenda, hal itu adalah tindakan komprehensif dari keseluruhan kelompok, dimana itulah yang penting.
Dalam arah-arah tertentu, para Sufi menyatakan, kehidupan harus dipandang sebagai keseluruhan, demikian juga secara individual. Hal ini sesuai dengan keseluruhan rencana, tindakan komprehensif dalam kehidupan, sangatlah mendasar bagi pencerahan.
Sedikit demi sedikit, di saat pengalamannya meningkat, Sufi mulai membentuk kembali pemikirannya selaras dengan garis ini. Sebelum ia benar-benar memiliki pengalaman mistisisme, ia adalah seorang yang lugu, tidak terlibat, atau memiliki suatu idea yang secara menyeluruh khayali tentang sifat dasar pengalaman tersebut, terutama tentang Guru dan jalan (Tarekat). Rumi memberikan kepadanya meditasi-meditasi yang dirancang untuk mengatasi perkembangan berlebihan dari idea-idea tertentu yang mengalir deras di kalangan orang yang belum memperoleh pengajaran (Sufistik). Manusia mengharap diberi sebuah kunci emas. Tetapi sebagian lebih cepat berkembang dari yang lain. Seorang yang bepergian melewati kegelapan itu masih bisa disebut sedang bepergian. Sang murid akan belajar (sesuatu) ketika ia tidak mengetahui bahwa dirinya tengah belajar, dan sebagai hasilnya ia mungkin akan terlumuri (pengetahuan). Di musim dingin, Rumi mengingatkan, sebuah pohon tengah mengumpulkan makanan. Orang mungkin mengira bahwa pohon tersebut bermalas-malasan, sebab mereka tidak melihat sesuatu yang terjadi. Tetapi di musim semi mereka melihat untaian-untaian bunga. Sekarang, pikirnya, ia tengah bekerja. Ada waktunya untuk mengumpulkan dan ada waktunya untuk mengeluarkannya. Hal ini membawa subyek kembali pada ajaran: “Pencerahan harus datang sedikit demi sedikit — jika tidak, tak terbendung”.
Sarana-sarana skolastisisme, yang digunakan sebagai latihan bagi para Sufi, digantikan oleh pelatihan esoterik, dan hal ini harus dilakukan sesuai dengan kapasitas murid. Alat-alat pandai besi, ucap Rumi, “di tangan tukang tambal sepatu adalah seperti benih yang ditabur ke dalam pasir. Dan alat-alat tukang tambal sepatu di tangan petani adalah seperti jerami yang ditawarkan kepada anjing, atau tulang yang diberikan pada keledai.”
Sikap terhadap konvensi-konvensi biasa dalam kehidupan mengalami suatu pengujian. Persoalan jeritan batin manusia dipandang, bukan seperti sebuah kebutuhan Freudian, tetapi sebagai sesuatu instrumen alamiah yang melekat pada pikiran untuk memungkinkannya mencapai kebenaran. Rumi mengajarkan bahwa manusia sebenarnya tidak mengetahui apa yang mereka inginkan. Jeritan batinnya dinyatakan dalam ratusan keinginan yang mereka duga sebagai kebutuhan mereka. Namun hal ini bukanlah hasrat mereka sesungguhnya, sebagaimana pengalaman memperlihatkan. Karena ketika tujuan-tujuan ini tercapai, jeritan tersebut tidak berhenti. Rumi pastilah melihat Freud sebagai seorang yang terobsesi oleh salah satu perwujudan sekunder dari jeritan besar tersebut; bukan sebagai seorang yang telah menemukan dasar jeritan itu.
Demikian juga, orang-orang tampak jahat dalam pandangan seseorang — tetapi bagi lainnya mereka mungkin terlihat baik. Hal ini disebabkan dalam satu pikiran terdapat idea ketidakpuasan, sementara pada lainnya terdapat pandangan kebaikan. “Ikan dan kail kedua-duanya sama-sama hadir.”
Sufi mempelajari kekuatan pelepasan-diri, kemudian diikuti kekuatan mengalami apa yang ia pertimbangkan, tidak sekadar melihatnya. Untuk melakukan hal ini, ia diperintahkan gurunya untuk merenungkan peringatan Rumi, “Orang yang kenyang dan kelaparan tidak melihat hal yang sama ketika kedua-duanya melihat sepotong roti.”
Jika seseorang sangat tidak terlatih sehingga ia dipengaruhi oleh kebiasaannya sendiri, ia tidak bisa berharap untuk bisa mempunyai banyak kemampuan. Rumi memusatkan pada kontrol pengembangan; kontrol melalui pengalaman, bukan semata-mata melalui teori tentang yang baik dan buruk, benar atau salah. Teori ini masuk dalam kategori kata-kata, “Kata-kata, dalam dirinya sendiri, tidaklah penting. Anda memperlakukan seorang tamu dengan baik, dan berbicara beberapa patah kata yang lembut kepadanya, karenanya ia bahagia. Tetapi jika Anda memperlakukan orang lain dengan menggunakan beberapa patah kata dengan kasar, ia akan merasa sakit. Bisakah beberapa patah kata tersebut bermakna kebahagiaan atau kesedihan? Ini merupakan faktor-faktor sekunder, dan bukan faktor sesungguhnya. Kata-kata mempengaruhi orang yang lemah.”
Murid Sufi berkembang melalui berbagai latihan dalam melihat segala hal dengan cara pandang baru. Ia juga berbuat, bertindak dengan cara berbeda dalam suatu situasi tertentu daripada yang seharusnya ia lakukan. Ia memahami makna yang lebih mendalam karena anjuran-anjuran sebagai berikut, “Ambillah mutiaranya, bukan kulitnya! Engkau tidak akan menemukan sebuah mutiara di setiap kulit. Sesosok gunung jauh lebih besar dari sesosok batu mirah.” Apa yang tampak lazim bagi orang pada umumnya, mungkin berlalu di atas dasar sebuah kebijakan dan dipandang sebagai biasa, secara mendalam menjadi penuh makna bagi Sufi yang dalam intensitasnya menemukan hubungan dengan sesuatu yang disebutnya sebagai “yang lain” — faktor dasar yang sedang dicarinya. “Apa yang tampak sebuah batu bagi orang biasa,” lanjut Jalaluddin Rumi, “adalah mutiara bagi sang Alim.”
Kini kehalusan pengalaman spiritual tampak sekilas bagi sang Salik. Jika ia seorang pekerja kreatif, ia memasuki jenjang itu ketika inspirasi kadangkala masuk ke dalam dirinya, tetapi tidak pada waktu yang lain. Jika ia rentan terhadap pengalaman ekstatik, akan menemukan bahwa perasaan penuh makna yang membahagiakan dalam keutuhan itu datang secara singkat sehingga ia tidak mampu mengendalikannya. Rahasia melindungi dirinya sendiri. “Pusatkan perhatian pada spiritualitas seperti yang engkau inginkan –ia akan membutakan dirimu jika engkau tidakmampu melihatnya. Tulislah hal ini, bicarakan dan ulaslah — ia akan gagal untuk memberikan manfaat kepadamu: ia akan terbang. Namun, jika rahasia itu menyentuh pusat pikiranmu, ia mungkin datang ke tanganmu, seperti seekor burung yang jinak. Layaknya burung merak, ia tidak akan hinggap di tempat yang tidak layak.”
Hanya ketika telah melampaui jenjang perkembangan inilah, seorang Sufi bisa menyampaikan sesuatu tentang jalan itu kepada orang lain. Jika ia mencobanya sebelum melampaui jenjang tersebut, “Ia akan lenyap”.
Di sini juga letak arti penting suatu keseimbangan halus antara (keadaan-keadaan) ekstrim yang sangat mendasar itu, atau keseluruhan upaya itu akan sia-sia. “Pikiran Anda sebagai jaring itu begitu halus,” tutur Rumi. Ia harus disesuaikan dengan tepat agar bisa menangkap sasarannya. Jika ada kesedihan, jaring itu terkoyak. Jika terkoyak, ia tidak berguna. Karena cinta yang terlalu besar, begitu pula karena penentangan yang terlalu besar, jaring itu terkoyak. “Jangan lakukan keduanya!”
Lima indera batin mulai berfungsi jika kehidupan batin individu dibangkitkan. Makanan batiniah yang dibicarakan oleh Rumi itu mulai mempengaruhinya. Indera-indera batin bagaimanapun menyerupai indera-indera lahiriah, tetapi “perbandingan indera batin dengan indera lahiriah seperti emas dan tembaga”.
Karena setiap individu mempunyai kemampuan yang berbeda, para Sufi pada jenjang ini mengembangkan dengan cara-cara tertentu. Adalah biasa bagi sejumlah fakultas batin dan berbagai kemampuan khusus untuk berkembang secara bersamaan dan harmonis. Berbagai perubahan kepekaan batin itu mungkin terjadi, tetapi perubahan itu sama sekali berbeda dengan perubahan batin dari orang-orang yang belum berkembang menuju kepribadian sejati. Kekasaran batin orang-orang awam ini digantikan oleh perubahan dan interaksi dari cita rasa yang lebih tinggi, dimana cita rasa yang lebih rendah dipandang sebagai refleksi semata.
Konsepsi Sufi tentang hikmah dan kebodohan mengalami suatu perubahan. Rumi memahaminya sebagai berikut, “Jika seseorang benar-benar bijaksana dan tidak memiliki kebodohan, ia akan dihancurkan oleh kebijaksanaannya sendiri. Oleh karena itu, kebodohan bisa dihargai, sebab ia berarti bagi kelangsungan eksistensi. Kebodohan dalam perubahan ini merupakan kolaborator hikmah, sebagaimana malam dan siang saling melengkapi.”
Bekerjanya hal-hal yang bertentangan secara bersamaan merupakan tema penting lain dalam Sufisme. Ketika pertentangan nyata bisa didamaikan, individualitas bukan saja utuh, ia juga bisa melampaui ikatan-ikatan manusia awam sebagaimana kita memahaminya. Individu itu, selama kita bisa menyatakannya sedekat mungkin, sangatlah kuat. Apa makna pernyataan ini dan bagaimana terjadinya adalah persoalan-persoalan dari pengalaman pribadi, di luar dunia penulisan semata. Rumi mengingatkan kita pada lain tempat, dalam ucapannya yang tertulis dengan kata-kata: “Kitab sang Sufi bukanlah huruf-huruf yang kelam, kitabnya seputih kalbu.”
Sekarang sang Sufi mempunyai pandangan batin tertentu yang terkait dengan perkembangan suatu intuisi yang selalu benar. Perasaannya terhadap pengetahuan sedemikian rupa, sehingga dengan membaca sebuah kitab, ia bisa membedakan fakta dan fiksi, tujuan sejati penulisnya dari unsur-unsur lainnya. Kalangan yang secara khusus terancam oleh kemampuan ini adalah para peniru yang mengaku sebagai Sufi. Sementara orang yang mempunyai intuisi itu akan mempunyai kemampuan tembus pandang. Bahkan pengertiannya tentang keseimbangan memperlihatkan kepadanya betapa jauh si peniru itu dari tujuan Sufisme. Rumi mengulas fungsi ini dalam Matsnawi. Ajaran ini secara setia disampaikan pula oleh para guru Sufi ketika mereka menemukan bahwa murid telah mencapai jenjang ini: “Peniru itu seperti penyalur. Ia sendiri tidak minum, tetapi ia mungkin bisa memindahkan air kepada orang yang kehausan.”
Karena telah mengalami kemajuan di jalan itu, Sufi menyadari betapa rumit dan berbahayanya jalan itu jika tidak dijalankan sesuai dengan metode yang telah dikembangkan selama berabad-abad. Dengan menggunakan fabel, Matsnawi mencatat jenjang dari pengalaman ini. Seekor singa memasuki sebuah kandang, memangsa seekor sapi yang tinggal di dalam kandang itu, lalu ia duduk ditempat si sapi. Kandang itu gelap, si pemilik sapi masuk dan mencari-cari sapinya. Tangannya meraba-raba tubuh singa itu. Si singa berkata dalam hati, “Jika ada cahaya, pastilah ia akan mati ketakutan. Ia menyentuhku hanya karena menduga bahwa aku adalah sapinya.” Jika fabel ini dibaca sebagai cerita biasa, penggambarannya yang singkat dan menarik ini mungkin dipahami sebagai sejenis orang bodoh yang terburu-buru masuk ke tempat di mana para malaikat sendiri takut merambahnya.
Pemahaman terhadap makna sejati di balik berbagai peristiwa duniawi yang tidak bisa dijelaskan secara nalar itu merupakan konsekuensi lain dari perkembangan Sufi. Sebagai contoh, mengapa tahapan tertentu dalam studi mistis menuntut seseorang lebih lama dari lainnya, meskipun ia sebenarnya melaksanakan rutinitas yang sama? Rumi menggambarkan pengalaman dan satu dimensi khusus dalam kehidupan yang menutupi fungsi aktualitas secara utuh dan memberikan suatu pandangan yang tidak memuaskan kita dari keseluruhan itu. “Dua pengemis,” katanya, “mendatangi sebuah rumah. Salah satunya segera merasa puas setelah diberi sepotong roti. Ia pun pergi. Sementara pengemis kedua tetap menunggu bagiannya. Mengapa? Pengemis pertama itu tidak disukai, ia diberi roti basi dan hambar. Pengemis kedua diminta menunggu sampai sepotong roti segar selesai dimasak untuknya.” Cerita ini menggambarkan suatu tema yang terjadi berulangkali dalam ajaran Sufi, bahwa seringkali ada satu unsur dalam sebuah peristiwa yang tidak bisa diketahui. Akibatnya kita mendasarkan pendapat kita pada bahan yang tidak utuh. Adalah keajaiban kecil jika orang yang belum tercerahkan mengembangkan dan memberikan suatu “pandangan kilas” yang berlangsung dengan sendirinya.
“Engkau dikuasai oleh dunia dimensi,” senandung Rumi dalam sebuah syairnya, “tetapi engkau berasal dari dunia non-dimensi. Tutuplah yang pertama dan bukalah yang kedua!”
Seluruh kehidupan dan setiap ciptaan dipandang dalam suatu bentuk baru dan komprehensif Dengan menggunakan metafor Matsnawi, pekerja “tersembunyi di dalam ruang kerjanya”, bersembunyi dalam kerjanya untuk merenda jaring-jaring dirinya. Ruang kerjanya adalah tempat pandangannya. Di luar tempat ini adalah kegelapan.
Posisi Sufi sebagai orang yang mempunyai pandangan batin lebih dalam tentang persoalan-persoalan dunia dan keseluruhan serta saling bertentangan, merupakan potensi kekuatan diri yang sangat besar. Tetapi ia hanya bisa melakukan hal ini dalam hubungannya dengan seluruh makhluk — pertama dengan sesama Sufi, kemudian dengan manusia secara umum dan akhirnya dengan semua makhluk. Kekuatan dan keberadaannya berkaitan dengan serangkaian hubungan baru. Orang-orang datang kepadanya dan ia menyadari bahwa bahkan mereka yang ingin mencemoohkan dirinya sangat mungkin datang untuk belajar sesuatu daripada sekadar menilai dirinya. Ia memandang sejumlah besar peristiwa sebagai suatu jenis pertanyaan dan jawaban. Suatu kunjungan kepada seorang yang Tercerahkan dipandangnya sebagai pendekatan, “Ajarilah aku!” Betapapun laparnya suatu pertanyaan, tetap saja sebuah pertanyaan. “Kirimkan makanan!” Mencegah diri untuk tidak makan merupakan jawaban, suatu jawaban negatif. Sebagaimana Rumi menyimpulkan bagian ini, jawaban untuk seseorang yang bodoh adalah diam.
Ia mampu memberikan sebagian pengalaman mistiknya kepada orang-orang tertentu, sebagian muridnya dan orang yang dituntun oleh pengalaman masa lalu mereka untuk perkembangan semacam itu. Hal ini terkadang dilakukan melalui latihan-latihan konsentrasi dan prakteknya mungkin berkembang ke dalam pengalaman mistik yang sesungguhnya. Rumi berkata kepada para muridnya, “Pada mulanya pencerahan datang kepadamu dari orang-orang yang Tercerahkan. Ini adalah suatu tiruan. Namun ketika hal itu datang berulang kali, ini adalah pengalaman tentang kebenaran.” Selama tahap pencariannya, seorang Sufi mungkin sering terlihat tidak memperdulikan perasaan orang lain, atau berada di luar aktivitas masyarakat. Jika demikian, hal ini karena ia telah melihat karakter sejati dari suatu situasi, di balik situasi lahiriah yang hanya terlihat secara parsial bagi orang lain. Ia berbuat dengan cara sebaik mungkin, meskipun tidak selalu mengetahui mengapa ia mengatakan atau melakukan sesuatu.
Dalam Fihi Ma Fihi, Rumi memberikan ilustrasi tentang situasi itu. Seorang pemabuk melihat seorang Raja lewat dengan menunggang kuda yang sangat mahal harganya. Ia mencemooh kuda itu. Sang Raja marah dan memanggilnya untuk menghadap kepadanya. Orang itu menjelaskan, “Saat itu seorang pemabuk sedang berdiri di atas atap. Aku sekarang bukan dia, sebab dia telah pergi.” Sang Raja puas dengan jawaban ini dan memberikan hadiah kepadanya. Pemabuk itu adalah sang Sufi dan orang yang sadar itu juga adalah dirinya. Dalam hubungannya dengan realitas sejati, sang Sufi telah bertindak dengan cara tertentu. Akibatnya ia diberi hadiah. Ia juga melaksanakan suatu fungsi ketika menjelaskan kepada Raja bahwa orang tidak selalu bertanggung jawab atas berbagai tindakannya. Ia juga telah memberikan kesempatan kepada Raja untuk melakukan perbuatan baik.
Tidak ada anggur yang matang menjadi mentah kembali. Evolusi manusia tidak dapat dihentikan. Meskipun demikian evolusi ini bisa diarahkan dan dicampuradukkan oleh mereka yang tidak mengetahui apa sesungguhnya intuisi itu. Dengan demikian ajaran-ajaran Sufisme bisa diselewengkan dan seorang yang telah Tercerahkan juga bisa dihubungi jika ia membiarkan dirinya terlalu sering terlihat secara terbuka oleh orang kebanyakan. Sebab untuk mengajarkan masalah Sufistik kepada orang luar, seperti guru Sufi lainnya, Rumi selalu menyerukan:
Ketika lentera batin permata masih menyala,
Potonglah segera sumbu atasnya dan berilah minyak.
Namun ia sepakat dengan para guru lainnya yang menolak untuk membicarakan mistik kepada setiap orang, “Panggillah kuda-kuda ke tempat yang tidak berumput, mereka pun akan mempertanyakannya.” — tidak menjadi soal apa pertanyaannya itu.
Para Sufi menentang kalangan intelektual murni dan para pemikir skolastik, karena mereka percaya bahwa pelatihan pikiran dengan cara obsesif dan satu jalur pemikiran semacam itu justru membahayakan pikiran. Demikian pula, mereka sangat menentang orang-orang yang mengira bahwa semua persoalan itu bersifat intuitif dan asketis. Padahal Rumi menekankan keseimbangan dari semua kemampuan itu.
Kesatuan pikiran dan intuisi yang akan melahirkan pencerahan dan perkembangan yang dicari oleh para Sufi itu didasarkan pada Cinta — tema yang ditekankan oleh Rumi ini tidak bisa dipaparkan secara lebih baik kecuali melalui berbagai tulisannya sendiri, kecuali jika ia berada di dalam dinding-dinding aktual dari sebuah madzhab Sufi. Seperti intelektualisme yang bekerja dengan bahan-bahan yang nyata, Sufisme bekerja dengan bahan-bahan yang terlihat dan tidak. Jika ilmu dan skolastisisme selalu mempersempit cakupannya ke dalam bidang kajian yang semakin sempit, maka Sufisme tetap menggunakan setiap bukti kebenaran yang melandasinya, di mana pun hal itu bisa ditemukan.
Kekuatan asimilasi dan kemampuan untuk membangkitkan simbolisme, cerita dan pemikiran dari dasar arus Sufistik ini telah menyebabkan para komentator (bahkan di Timur) merasa sangat kagum dan menjadikan masa lalu sebagai sesuatu yang baru. Mereka menelusuri asal-usul sebuah cerita di India, sebuah pemikiran di Yunani dan sebuah latihan spiritual di kalangan Shaman. Unsur-unsur ini dengan senang hati mereka himpun di meja, pada akhirnya untuk menyediakan amunisi dalam perjuangan dimana para lawannya adalah di antara mereka sendiri. Atmosfir unik dari madzhab-madzhab Sufi ditemukan dalam Matsnawi dan Fihi Ma Fihi. Tetapi dua karya ini oleh para eksternalis dianggap membingungkan, kacau dan ditulis secara longgar.
Adalah benar bahwa kedua kitab ini sebagian merupakan pembimbing yang harus digunakan dalam hubungannya dengan ajaran dan praktek Sufi yang sesungguhnya — kerja, pemikiran, kehidupan dan seni. Namun bahkan seorang komentator yang menerima kenyataan atmosfir ini sebagai sengaja diciptakan dan yang mengulang penilaian Sufi dalam buku, memperlihatkan dirinya sendiri dalam hubungan personal menjadi agak kebingungan terhadap semua hal itu. Selain itu harus dikatakan bahwa ia memandang dirinya sebagai seorang Sufi, meskipun tidak diakui oleh metode Sufi mana pun. Di bawah pengaruh orang-orang semacam ini, studi Barat tentang Sufisme dan sekarang dalam periode kebangkitan yang luar biasa, telah menjadi sedikit lebih Sufistik, meskipun ia masih harus menempuh jalan panjang. “Sufi intelektual” merupakan kegemaran mutakhir di Barat.
Sufisme tentu saja mempunyai terminologi teknis yang khas, dan puisi-puisi Rumi kaya akan jenis-jenis umum dan khusus dari istilah-istilah dasar itu. Sebagai contoh, ia menggambarkan dalam kitab ketiganya, Diwan asy-Syams at-Tabriz, beberapa konsep pikiran dan aktivitas yang diproyeksikan dalam suatu pertemuan rahasia para darwis. Diramu dengan puisi rapsodik (penuh semangat), ajaran-ajaran Sufi “dalam pemikiran dan tindakan” disampaikan melalui metode yang secara khusus dirancang proyeksinya:
Bergabunglah dengan komunitas Sufi, jadilah seperti mereka, maka lihatlah kebahagiaan dari kehidupan sejati. Pergilah sepanjang jalan yang runtuh dan lihatlah orang-orangyang merana (para pemilik rumah yang runtuh). Minumlah anggur, agar engkau tidak mempunyai rasa malu. Tutuplah kedua mata lahirmu, sehingga engkau bisa melihat dengan mata batin. Bukalah kedua tanganmu, jika engkau mengharap pelukan. Hancurkan berhala bumi untuk melihat wajah banyak berhala. Mengapa seorang perempuan tua begitu senang menerima sebuah mahar — dan karena tiga potong roti, mengapa engkau menerima kewajiban militer?
Sahabat kembali di malam hari; malam ini jangan minum — tutuplah mulutmu dari makanan, hingga engkau memperoleh makanan mulut. Di Majelis sang Pembawa Cawan yang ramah, berputarlah — masuklah ke dalam lingkaran. Berapa lama engkau mengitarinya? Inilah tawarannya — tinggalkan satu kehidupan, raihlah keramahan Pengembala… Hentikan pikiran kecuali bagi pencipta pikiran — berpikir tentang “kehidupan” lebih baik dibandingkan berpikir tentang roti. Di keluasan bumi Tuhan, mengapa engkau tertidur di sebuah penjara? Abaikan pemikiran-pemikiran rumit — untuk melihat jawaban jawaban yang tersembunyi. Diamlah untuk meraih kalam abadi. Tinggalkan “kehidupan” dan “dunia” untuk menyaksikan “Kehidupan Dunia”.
Meskipun aktualitas Sufi tidak bisa diuji kemurniannya oleh kriteria yang lebih terbatas dari pemikiran diskursif, puisi ini bisa dilihat sebagai suatu perakitan faktor-faktor utama dalam metode Rumi. Ia mendeskripsikan arti penting komunitas yang dicurahkan untuk memahami realitas, dimana realitas hanyalah sebagai suatu pengganti. Pengetahuan ini hadir melalui hubungan dengan orang lain, dengan terlibat dalam kegiatan kelompok, begitu pula dalam pemikiran dan kegiatan personal. Suatu yang mendasar hanya hadir jika pola-pola pemikiran tertentu telah direduksi dengan perspektif yang tepat. Sang Salik harus “membuka tangannya” untuk menerima sebuah pelukan, bukan mengharap sebuah pemberian sementara ia berdiri pasif menunggunya. “Perempuan tua yang lemah” adalah semua bentuk pengalaman duniawi sebagai pantulan dari suatu realitas terakhir yang hampir tidak mungkin dibandingkan dengan apa yang tampak sebagai kebenaran. Untuk “tiga potong roti” dalam kehidupan biasa, orang rela menjual potensialitasnya.
Sahabat datang di malam hari — datang, yaitu ketika segala sesuatu masih tinggal dan ketika seseorang tidak tenggelam oleh pemikiran otomatis. Makanan khas Sufi tidaklah sama dengan makanan biasa; tetapi ia merupakan bagian esensial dari kemanusiaan. Kemanusiaan berputar-putar di sekitar realitas dalam sebuah sistem yang tidak sejati. Ia harus memasuki lingkaran dan bukannya sekadar mengikuti garisnya. Hubungan kesadaran sejati dengan apa yang kita pandang sebagai kesadaran itu bagaikan hubungan dari seratus kehidupan dengan satu kehidupan. Beberapa karakteristik kehidupan sebagaimana kita ketahui — karakter pemangsa dan egoisme serta banyak lagi lainnya sebagai penghalang bagi kemajuan — harus dilenyapkan oleh faktor-faktor halus.
Pemikiran non-diskursif adalah metode. Pemikiran harus diarahkan untuk seluruh kehidupan, bukan terhadap aspek-aspeknya semata. Manusia laksana seseorang yang mempunyai pilihan untuk menjelajahi bumi, tetapi ia tertidur di sebuah penjara. Berbagai kepelikan intelektualisme yang keliru itu menutupi kebenaran. Sikap diam merupakan awal pembicaraan sejati. Kehidupan batin di dunia dicapai dengan cara mengabaikan pemilahan “kehidupan” dan “dunia”.
Ketika Rumi meninggal dunia pada tahun 1273, ia meninggalkan putranya, Bahauddin, untuk melanjutkan kepemimpinan Tarekat Mevlevi. Pada masa hidupnya ia dikelilingi oleh orang-orang dari setiap agama, dan pada waktu pemakamannya dihadiri oleh orang-orang dari segala jenis (kepercayaan).
Seorang Kristen ditanya, mengapa ia menangis begitu pilu atas kematian seorang guru Muslim. Jawabannya memperlihatkan pandangan Sufi tentang pengulangan ajaran dan penyampaian aktivitas spiritual:
“Kami menghargainya seperti Musa, Dawud, Yesus zaman ini. Kami semua adalah para pengikut dan muridnya.”
Kehidupan Rumi memperlihatkan campuran dari ajaran warisan dan pencerahan pribadi yang menjadi pusat Sufisme. Keluarganya berasal dari keturunan Abu Bakar, sahabat Nabi saw., dan ayahnya masih ada hubungan dengan keluarga dengan Raja Khawarizmi Syah. Jalaluddin dilahirkan di Balkh, sebuah pusat ajaran kuno pada tahun 1207 dan dalam legenda Sufi dinyatakan bahwa, telah diramalkan oleh para mistikus Sufi, ia akan meraih masa depan gemilang. Raja Balkh di bawah pengaruh orang-orang skolastik, berbalik menentang para Sufi, terutama menentang kerabat ayah Rumi. Seorang guru Sufi ditenggelamkan di Sungai Oxus atas perintah Syah. Hukuman ini membayangi invasi orang-orang Mongol dimana Najmuddin al-Kubra, seorang pemimpin Sufi terbunuh di medan tempur. Najmuddin inilah pendiri Tarekat Kubrawiyah yang berkaitan erat dengan perkembangan Rumi.
Penghancuran Asia Tengah oleh tentara-tentara Jengis Khan telah menyebabkan tercerai-berainya para Sufi Turkistan. Ayah Rumi mengungsi bersama putranya ke Nisyapur di mana mereka bertemu dengan guru besar lainnya dari aliran Sufi yang sama, sang penyair Aththar, yang secara “spiritual” menganugerahi putranya dengan barakah Sufi. Ia menghadiahi Rumi sebuah salinan kitabnya, Asrar-Namah (Book of Secrets). Kitab ini ditulis dalam bentuk puisi.
Tradisi Sufi mengatakan bahwa karena potensi spiritual Jalaluddin muda telah dikenali oleh para guru di zamannya, maka perhatian mereka untuk melindungi dan mendidiknya menjadi motif bagi perjalanan kelompok pengungsi itu. Mereka meninggalkan Nisyapur dengan kata-kata kewalian Aththar yang terngiang dalam telinga mereka, “Anak ini akan memercikkan api kemuliaan dan keagungan suci bagi dunia. ” Kota itu tidak aman. Seperti Najmuddin, Aththar menunggu gilirannya menuju ke-syahid-an yang diterimanya dari tangan orang-orang Mongol tidak lama setelah itu.
Kelompok Sufi dengan pemimpin mudanya itu sampai ke Baghdad di mana mereka mendengar penghancuran Balkh dan pembantaian penduduknya. Selama beberapa tahun mereka mengembara, menunaikan ibadah Haji ke Mekkah, kembali menuju utara ke Syria dan Asia Kecil, mengunjungi pusat-pusat Sufi.
Asia Tengah terpecah-belah karena serangan orang-orang Mongol yang tiada henti-hentinya, dan setelah tegak kurang dari enam abad, peradaban Islam tampaknya menjelang keruntuhannya.
Pada akhirnya ayah Rumi mendirikan pusat kegiatannya tak jauh dari Konia, yang terkait dengan nama St. Paul. Pada saat itu, kota itu berada di tangan penguasa Seljuk dan Raja Seljuk mengundang Jalaluddin untuk tinggal di sana. Ia menerima sebuah jabatan profesional dan melanjutkan mengajar putranya tentang rahasia-rahasia Sufi.
Jalaluddin juga berhubungan dengan Guru Terbesar (asy-Syekh al Akbar), penyair dan seorang guru dari Spanyol, yaitu Ibnu Arabi yang pada waktu itu berada di Baghdad. Hubungan itu terjadi melalui Burhanuddin, salah seorang guru Rumi yang melakukan perjalanan ke kawasan Seljuk untuk menemui ayah Rumi yang baru saja meninggal. Karena menggantikannya sebagai pembimbing Rumi, ia membawanya ke Aleppo dan Damaskus.
Ketika usianya mencapai empat puluh tahun, Rumi memulai pengajaran mistiknya secara semi-publik.2 Seorang darwis misterius, “Syamsuddin at-Tabrizi” mengilhaminya untuk menghasilkan sejumlah besar puisinya yang terbaik dan untuk meramu ajaran-ajarannya dengan cara dan bentuk yang dirancang untuk mempertahankan keseluruhan Tarekat Mevlevi. Karyanya telah diselesaikan dan darwis misterius itu lenyap setelah masa sekitar tiga tahun dan tidak ada lagi jejak tentang dirinya yang bisa dilaporkan.
“Utusan dari dunia tak dikenal” ini oleh putra Rumi disepadankan dengan Khidr yang misterius, pembimbing dan pelindung para Sufi yang muncul kemudian berlalu dari kognisi normal setelah menyampaikan pesannya.
Selama masa inilah Rumi menjadi seorang penyair. Baginya, meskipun ia diakui sebagai salah satu penyair terbesar Persia, puisi hanya suatu produk sekunder. Ia memandangnya tidak lebih dari suatu refleksi realitas batin yang besar dan merupakan kebenaran serta disebutnya sebagai refleksi dari Cinta. Cinta terbesar, tuturnya, adalah keheningan dan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Meskipun puisinya mempengaruhi pikiran manusia sedemikian kuat, sehingga hanya bisa disebut sebagai kekuatan magis, ia tidak pernah terbawa olehnya sampai pada tingkatan mengidentifikasikan puisi itu dengan wujud yang jauh lebih besar, dimana puisi hanyalah ekspresi yang lebih kecil. Pada saat yang sama, ia mengakuinya sebagai sesuatu yang bisa membangun jembatan antara apa “yang benar-benar ia rasakan” dengan apa yang bisa ia lakukan untuk orang lain.
Dengan memakai metode Sufistik untuk mendapatkan perspektif tentang sesuatu, bahkan dengan resiko menghancurkan gagasan-gagasan yang paling mendasar, ia sendiri mengambil peranan kritik sastra. Orang-orang datang kepadanya dan ia mencintai mereka. Dalam rangka memberikan sesuatu kepada mereka agar bisa memahami, ia memberikan puisi kepada mereka. Tetapi puisi itu untuk mereka, bukan untuk dirinya, betapapun ia sebagai penyair besar — “Di atas segalanya, apakah peduliku dengan puisi?” Untuk menekankan pesan itu, dimana hanya seorang penyair dengan reputasi kontemporer terbesar yang berani melakukannya, ia menyatakan secara kategoris bahwa jika dibandingkan dengan realitas sejati, maka dirinya tidak punya waktu untuk menulis puisi. “Ini hanyalah nutrisi,” katanya, “yang bisa diterima pengunjungnya,” maka seperti tuan rumah yang baik, ia menyuguhkannya.
Seorang Sufi tidak akan pernah membiarkan sesuatu berdiri sebagai penghalang antara apa yang ia ajarkan dengan mereka yang sedang mempelajarinya. Di sinilah penekanan Rumi terhadap peranan subsider puisi dalam hubungannya dengan pencarian sejati. Sebenarnya apa yang ingin disampaikannya berada di luar jangkauan puisi. Bagi orang yang pikirannya telah terkondisikan oleh kepercayaan bahwa tidak ada sesuatu pun yang lebih sublim dari ungkapan puitis, maka perasaan semacam ini mungkin bisa mengakibatkan keterkejutan hebat. Hanya aplikasi dampak inilah yang perlu bagi tujuan Sufi dalam membebaskan pikiran dari ikatan fenomena sekunder, “berhala-berhala”.
Sebagai pewaris ayahandanya, Rumi sekarang memproyeksikan ajaran-ajaran mistisnya melalui kesenian. Musik, tarian dan puisi digunakan dalam berbagai pertemuan darwis. Pengubahan melalui berbagai latihan mental dan fisik ini dirancang untuk membuka pikiran menuju pengakuan potensialitasnya yang lebih besar, melalui tema harmoni. Pengembangan harmonis melalui sarana harmonis mungkin merupakan paparan dari apa yang dipraktekkan Rumi.
Mempelajari ajaran-ajaran Rumi semacam ini dari luar, telah membingungkan banyak pengamat asing. Salah satu di antara mereka merujuk pada “pandangannya yang tidak Timur bahwa perempuan bukan sekadar barang mainan, tetapi suatu pancaran Ilahi.”
Salah satu puisi Rumi yang diterbitkan dalam Diwan asy-Syams at-Tabriz, telah menyebabkan sejumlah kebingungan bagi kalangan literalis. Karya ini merupakan kajian Rumi terhadap semua bentuk agama yang berlaku, baik agama lama maupun baru. Kesimpulannya bahwa kebenaran esensial terletak pada kesadaran batin manusia itu sendiri, bukan pada organisasi-organisasi eksternal. Hal ini benar jika kita menyadari bahwa menurut kepercayaan Sufi, “pengujian” kepercayaan dilakukan dengan cara khusus. Seorang Sufi tidak perlu berkelana dari satu negeri ke negeri lainnya, mencari agama-agama untuk dipelajari dan mengambil apa yang bisa dibawa dari agama-agama itu. Ia juga tidak harus membaca kitab-kitab teologi dan tafsir untuk membandingkan satu ajaran dengan ajaran lainnya. “Perjalanannya” dan “pengujiannya” terhadap gagasan-gagasan lain terjadi dalam dirinya. Hal ini karena Sufi percaya bahwa seperti setiap orang mengalami sesuatu yang lain, ia memiliki pandangan batin yang mampu mengukur realitas dari sistem-sistem keagamaan yang ada. Tegasnya, akan sangat berat dan tidak berguna untuk mendekati suatu persoalan metafisis dengan menggunakan metode penelitian biasa. Seseorang yang bertanya, “Apakah Anda telah membaca buku tentang ini dan itu, karangan si Anu dan si Fulan?” niscaya akan menggunakan pendekatan keliru. Bukanlah buku atau pengarangnya, tetapi realitas buku dan penulis yang ingin disampaikan itulah yang penting bagi Sufi. Untuk memperoleh pemahaman tentang seseorang atau ajarannya, seorang Sufi hanya membutuhkan sebuah contoh. Tetapi contoh ini harus akurat. Dengan kata lain, ia harus ditempatkan dalam hubungan erat dengan faktor esensial dalam pengajaran yang terkait. Sebagai contoh, seorang murid yang tidak memahami secara menyeluruh sistem yang diikutiny, tidak bisa menyampaikan secara memadai sistem itu kepada Sufi guna memungkinkannya membuat pengenalan yang diperlukan.
Berikut ini adalah puisi dimana Rumi berbicara tentang pencapaian hubungan erat dengan berbagai agama dan reaksinya terhadap agama-agama itu:
Salib orang-orang Kristiani, dari ujung ke ujung
telah aku kaji. Dia tidak ada di salib itu.
Aku telah pergi ke kuil Hindu, ke pagoda tua.
Di tempat-tempat itu tidak ada tanda-tandanya.
Aku pergi ke dataran tinggi Herat dan Kandahar.
Aku melihat.
Dia tidak ada di dataran tinggi maupun rendah.
Dengan hati yang mantap, aku pergi ke puncak gunung Kaf.
Di sana hanya ada sarang burung ‘Anqa.
Aku pergi ke Ka’bah. Dia tidak ada di sana.
Aku bertanya kepada Ibnu Sina tentangnya:
Dia di luar jangkauan filosuf ini …
Aku melihat ke dalam kalbuku sendiri.
Di situlah tempatnya, Aku melihatnya.
Dia tidak di tempat lain …
Kata ganti “dia” di sini maksudnya adalah realitas sejati. Sufi adalah abadi. Penggunaan kata-kata seperti “kemabukan” atau “anggur” maupun “hati” adalah penting, namun paling jauh hanya untuk mendekati realitas sejati itu dengan menggunakan suatu parodi. Sebagaimana Rumi menyatakannya:
Sebelum kebun, tanaman dan buah anggur tercipta di dunia ini,
Jiwa kami telah mabuk dengan anggur abadi.
Sufi mungkin terpaksa mempergunakan perumpamaan dari dunia yang dikenal pada jenjang awal penyampaian, tetapi Rumi mengikuti standar rumusan Sufi dengan sangat ketat. Tongkat penyangga harus dibuang jika si pasien sudah mampu berjalan sendiri. Nilai dari cara ekspresi Rumi bagi murid adalah fakta bahwa ia menjadikan hal ini jauh lebih jelas dari semua bahan yang tersedia di luar sekolah-sekolah Sufi. Jika Tarekat eksternal tertentu telah terbiasa mengondisikan para pengikutnya secara literal dengan menggunakan perangsang secara berulang-ulang, menandai waktu pada jenjang perkembangan tertentu, mempertahankan kebutuhan murid kepada “tongkat penyangga”, tentu saja ini bukan kesalahan Rumi.
Catatan kaki:
1 Nama samarannya, Rumi, dipilih karena jumlah keseluruhan huruf ini adalah 256, yang kemudian diubah kembali ke dalam tiga huruf NUR. Nur adalah kata Arab dan Persia untuk “cahaya”.
Artikel ini dikutip dari Buku “Mahkota Sufi: Menembus Dunia Ekstra Dimensi” oleh Idries Shah, Penerbit Risalah Gusti, Cetakan Pertama Shafar 1421H, Juni 2000.
Pages
- MARI BERDZIKIR KEPADA ALLAH DAN BERFIKIR TENTANG CIPTAAN ALLAH
Blog Archive
-
▼
2010
(43)
-
▼
Mei
(24)
- Keutamaan Surat Al-Kahfi
- Keutamaan Surat Al-Mulk
- Tafsir Surat Al-Waqiah
- Tafsir Surat Al-Waqiah
- Keutamaan Surat Al-Waqiah
- Keutamaan Surat Ar-Rahman
- Keutamaan Menuntut Ilmu
- KEUTAMAAN DZIKIR
- KEUTAMAAN MEMBACA AL-QURAN
- KEUTAMAAN SURAT YASIN
- KEUTAMAAN SHOLAT TAHAJUD
- KEUTAMAAN SHOLAT DHUHA
- KEUTAMAAN HARI SENIN & KAMIS
- KEUTAMAAN MALAM JUMÁT
- ETIKA MENYAMBUT HARI JUMÁT
- KEUTAMAAN HARI JUMÁT
- SYEKH JALALUDIN RUMI
- Syeikh Abdurauf As Sinkili
- BIOGRAFI ASY SYEIKH HABIB MUHAMMAD LUTHFI BIN YAHYA
- FADHILAH ZIKIR ASMAUL HUSNA
- SYEKH ABU HASAN ASY-SYADZILI
- SYEKH IBN 'ATHA'ILLAH ASY-SAKANDARY
- SYEKH MUH.BAHAUDDIN AN-NAQSABANDY
- KH.MAHRUS ALY
-
▼
Mei
(24)
About Me-
عادات أهل اليقظة عبادات, وعبادات أهل لغفلة عاداتAmal duniawi orang yang selalu ingat (Alloh) akan menjadi ibadah, sedangkan Ibadah orang yang lalai (dengan Alloh) akan menjadi Amal duniawi.
(Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad)
(Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas)